IPS     |     home
Hasyuda Abadi   |   Jasni Yakub   |   Abd Naddin   |   Sahara Jais   |   Muharsafa   |   Oney Latifah   |   Robby A   |   Rosnah Radin   |   Badri Ahmad   |   R.A.M Papar   |   Ammy Manja   |   Amisah Mahmud   |   Diana Mohd Derin   |   Mas Alian   |   Norawi   |   Rafidah   |   Dg Salmah Salam   |   Liana Salleh
Hasyuda Abadi
DI SEBALIK CERMIN KEMENANGAN

Dengan kemenangan ini
adalah kemenangan untuk kami yang
terdampar
di atas pembaringan berpada
semenjak berkali warna bicara
dicalit di atas kertas pertimbangan
sia-sia.

Yang sia-sia itulah bahasa bebas
yang melepaskan ikatan persaudaraan
dari rimba yang diterokai oleh
secalit api
keakuan membina martabat pasir
di atas landas tak sasa
membakar tunggul-tunggul purba
akar peradaban,
inikah citra bangsa yang berputar
dalam siklus yang samar
berulang tanpa ruang menjalin matang?

Yang sia-sia itu adalah keangkuhan
tanpa ragu-ragu membuang kebenaran
dengan keikhlasan yang tidak
direlakan
menggenggam tangan di simpangan jalan
cita citra agung yang dilaungkan
mencakar lahap hari persaudaraan
sekilas terlepas
di jaring angan-angan ikatan
bayang-bayang.

Kota Kinabalu,
1991.

SUATU WAKTU BERHADAPAN DENGAN SAJAK

Kali ini kubaca sajak di hadapan cermin,
khalayak yang membayangi wajah sendiri -
mata, hidung, mulut, telinga dan rambutku -
pada bicara tentang sajak yang kubaca

hanya tujuh baris hampir seratus sukukata,
asonansi dan aliterasi yang menghiburkan,
metafora, magis, alegeri, simili dan elegi
yang habis memenuhi keinginanku dalam sajak
yang kubaca, kutulis tujuh hari yang lalu

(Mata: lihatlah pada renungan kalbu, hidung:
hidulah harum aroma cinta, mulut: cuba lafaz
sepi bercanda, telinga: dengarkanlah simfoni
alami, rambut: tabiri wajah, semuanya pada
berkata-kata dalam bisik - mata pada cermin
pada mataku, hidung pada cermin pada
hidungku, mulut pada cermin pada mulutku,
telinga pada cermin pada telingaku, rambut
pada cermin pada rambutku...)

Aku semakin galak membacakan sajakku di
hadapan khalayakku sebuah cermin tua, tanpa
kuduga cermin tua itu membacakan sajakku yang
kuulang-ulang. Cermin itu membaca dan aku
mendengar bisikan-bisikan syahdu menusuk di
kalbu  seperti suatu malam akhir bulan tujuh
akhirnya kulihat baris-baris sajak pada
kertas yang kugenggam erat sejak tadi kian
tenggelam berpindah pada cermin tua dan sajak
itu membaca baris-barisnya sendiri di
hadapanku yang terpaku.
Kota Kinabalu,
1994.

KAMI DALAM DEMOKRASI

Kami dikumpulkan di dalam petak-petak persefahaman
persaudaraan disusun dari kelopak-kelopak mawar
ghairah memperindah taman
terjalinlah temasya ibunda
meriah api di sana
meraih api di sini: warna-warna percikannya
memanggang peribadi.

Kami dihimpun musim demi musim yang sama
memperaga pameran kemanusiaan di bahu demokrasi
pemimpin dipimpin oleh jumlah undi
rakyat diatur dengan sejumlah besar janji
dengannya keadilan
dengannya juga kepalsuan membajui
rongga-rongga peribadi.

Kami dijadikan model membangunkan negeri
dengan undi ini atau sekian jumlah wang ini
politik dalam acuan keji
dalam demokrasi api membakar diri
di mana jujur ditakhtakan
atau inilah permainan warna-warna
benci-membenci dan mengalih sayang!

Kami adalah kami bagi bumi demokrasi
kami adalah tubuh kami, roh kami, hasrat kami
kami adalah negeri sentiasa dibaui undi
harapan kehidupan atau perjudian
biar bila-bila musim mengundang
bila-bila demokrasi bernafas
bumi bernafas
dan kami
bernafas...

Kota Kinabalu,
1991.

DOA ORANG YANG BERADA JAUH
- untuk Mas ...

o
Minda mulai bernas sekarang
bermunajat jauh lewat keheningan malam
antara witir dan tahajud
sujudku ini
mengalirlah gelombang doa orang jauh...

Ya Allah engkau maha pengampun dan penyayang
lagi pengasih
berikan hidayah kepada hambamu
menghadapi dugaan citra dunia fana
berilah kesudahan penantian ini hanya
dengan kebenaran-Mu jua
dengan kebijaksanaan-Mu jua
dan suluh jalan yang lurus

oo
Di manakah dikau, aduhai
renjisan doa ini menyerlahkan kembaran wangian
kasih
bunga-bunga berkembangan
menghias taman seloka tempat menuang duka
di sini kembaraku bermula semula
kembara di alam kenangan
menanam pasak kenangan menyemai kejujuran
benar terhadap segala kebenaran
jujur terhadap segala kejujuran
di halaman kebun perkasihan,
ini doa orang jauh...

Ya Allah ya Tuhanku
hari-hari dilalui terasa amat perlahan
tetapi hentikanlah sebuah penantian itu
dengan pengakhir yang kau redha
atas belas dan kesayangan-Mu jua
datangkanlah batinku ketenangan bukan kejahilan
amalku dan ibadah kutuju hanya kerana-Mu
peliharalah kejujuranku
dan jadikan daku mahluk-Mu yang berwibawa
menyayangi dan dikasihi
didekati oleh segala rahmat-Mu
amin.

Kota Kinabalu,
7 Ramadhan 1415.

CITRA ORANG BERDOSA
- kepada lelaki...

Kesepian seperti tidak akan beredar
ketika mengungsi sebuah kamar
dia melangkah derap demi derap
dalam getar dan gusar
mengharung rimba gelora
sepi menyeka seksa
liang-liang luka dibebat
tanpa siapa-siapa
di sisi menyapa

ii)
Bukan sia-sia
tetapi sisa-sisa kenangan tak pernah sirna
kelana hayat kian menjauh
basah di layar ingatan
ombak rindu menggelora
alun kasih membara
jika terasa api menyala
arang dan debunya adalah hayat
apinya adalah semangat!

iii)
Dialah lelaki berdosa
membebat luka dosa-dosa purba
tanpa silu membuka lembaran sejarah citranya
mengatur langkah-langkah tua
menghampiri kebenaran
yang telah diterjemahkan di dalam kedukalaraan
menyusun langkah-langkah likunya
menyambut cahaya bulan gerhana
menjahit luka laranya
menuai hampa impian-impiannya
bertaut di dahan-dahan harapan
yang tak sasa

iv)
Saat disingkapnya semula daun-daun pintu kalbu
saat itulah mengembalikan kenangan
dia bagai si piatu yang kehilangan ibu
mulai kehilangan bicara
mulai kehilangan citra
mulai kehilangan makna mesra
saat itulah lelakinya
diujitabah
tersungkur
menghitung dosa-dosanya
yang tak terukur

Saat diimbasnya semula
mimpi dan igauan lama
kelmarin seperti baru berlalu
meninggalkan kenangan seribu

v)
Tuhan, ampunilah lelaki itu
kembaranya telah terkeliru.

Kota Kinabalu.
3/5/95
PENJAGA GUA TENANG

Ketika berada dalam rimba api membara
ditemuinya tenang gua
sifar daripada karenah manusia
yang dikusutkan oleh semak sengketa
membekukan sungai makna
menterjemah dunia terasa sulit
alur minda terhimpit sempit

Demikian haru hipokrit
ini kalimah dilagukan
perdebatan bernada sumbang
di sini lahir ramai munafik
berbicara segunung retorik

Kami dipaksa masuk ke dalam alam kolam
menghayati garis-garis riak
ditemukan di tengah pusarannya
garis-garis itu kemudian kembali ke tepi
dan ke tengah lagi, ke tepi lagi
begitulah seterusnya
mencari destinasi
dalam gua diri sendiri.

Petagas,
29 Dis 1994.


KUPU-KUPU DI DALAM DEWAN

Ia telah berada dalam dewan
sejak beberapa lama tanpa suara,
dia terbang
menggerak-gerakkan kepaknya
bercorak putih berbintik hitam
terbang menyekitari ruang dewan
terbang menghampiri ahli-ahli dewan
yang terdiam, tertegun memandang,
dia terbang
hinggap pada dahan-dahan keliru,
dia terbang
bertenggek pada ranting minda,
dia terbang membawa
kepak lawanya tanpa kata-kata
tanpa apa-apa

Hanya warna kepaknya
berbintik hitam bersilih putih
dia mendekati setiap mata ahli-ahli dewan
yang mulai mendapatkan isyarat makna kupu-kupu
melingkari makna kewujudan waktu.


Bilik Kundasang
28 Dis 1994
MENULIS DIARI

Membuka diari baru
dan menulis catatan hari pertama
tahun baru
mencorak riak gerak minda
mencerakin gelombang gaya
warna detik yang menjelma
mengembangkan saujana kanta
menghimbau medan nostalgia
menjejak hari-hari terakhir
bernoktah mencorak tinta,
diari baru haru
menyelami kolam makna usia
dulu selalu diburu
ketika kata-kata tak tersimpul
pada maknanya
ketika perdu minda layu
oleh kealpaannya
dan di hari pertama ini
iltizam menyentuh syahdu
pintu kalbu
mencantum corak dan coret diari
merakamkan gejolak  diri.

Lumadan, Beaufort,
1995.

SAAT YANG PENGHABISAN INI
- mengenang Tun Mustapha

Saat itupun menjelma
dulu disulam babak hayat  bersama rakyat
api membara melonjakkan jiwa perkasa
sekarang jiwa bersatu
dalam kolam hayat negerimu
menokah arus seru,
seru itu lain
di sinilah bermula cinta bertakhta
sesama kita insan tanpa perkasa
lemah di bawah keperkasaan kuasa-Nya
lidah kita tidak petah
lemah di bawah kepetahan suara-Nya
( air kolammu beriak-riak saat ini
semakin jauh bertemu tetapi terpisah )

Saat-saat yang penghabisan ini
melantun santun
tapi itu semata-mata sementara
kiranya berbeza citarasa
begitu di bahu tersandar wibawa
anda negarawan bangsa menjejak merdeka
kami negarawan bangsa menjejak kebenaran
kemerdekaan itu
yang betul dan benar
hilangkan sangsi hampirkan segala jasa
nanti generasi mencarimu
dalam wajah yang tiada
tapi bersama-samanya jiwa perkasa
saat anda mendepangkan pengorbanan untuk bangsa
warga negerimu milik mereka.


Kota Kinabalu,
1995.
SEBUAH PERTEMUAN DI PETAGAS

Pertemuan kita antara tenang dan resah
inilah gelora yang membara
sesekali menduga
di dasar putaran dan bauran lumpur
menyapa perjalanan menenggelamkan makna
dukalara

Kita sentiasa membahasakan alam ini
lewat liku yang melebar
sebenarnya mengajar
kepada alur kedewasaan
memaklumkan saujana pandang
menyimpul kalimah persahabatan kita
sungai abadi mengalir ke muara zaman
laut waktu memberi pilihan
dalam gelora atau tenangnya
atau akhirnya karam diamuk gelombang
tertewas oleh bimbang

Di sini pertemuan
dalam tenang dan dalam gelora
pemisah resam makna kehidupan.

Petagas, Sabah.
1994.
MENULIS DIARI ii

Tidak seperti wargaramai
diari kuperolehi daripada diri sendiri
yang dianyam lewat hari-hari lalu
nostalgia dan hari-hari yang  tua.

Kutulis halaman karya wangi berbunga
akarkataku ada di mana-mana,
pada ranting saat, di dahan waktu dan
pohon hari  malah tahun ini
warna daun baru mencorak  resam alam

Baruku dimulakan tanpa kata-kata
di hujung mataku tersergam minda
mendekati rimbun pohon yang kuulangi
tidak lagi mengenang usai ulangtahun
hari perkahwinan dan sewaktu menimang
cahayamata pertama,kedua dan seterusnya
ketika  duka menyingkap baju kalbu
atau menyemak panjang senarai nota
kebun persahabatan.

Kota Kinabalu,
1995.


SELEPAS EMPATBELAS ABAD

masih tak terkunci pintu kalbu
tak jemu-jemu menjemput tetamu
menyingkap rindu kembara baru
menyelami gawang maya kehidupan
kewujudan di hadapan Tuhan
melafazkan syukur di bawah cenderang
langit istighfar dan tafakur

Alun hidup yang memartabatkan usia
seharusnya ada biduk di tepian
seharusnya ada tafsir dan tamsil
menyedari ada Pencipta Yang Maha Agung
menyedari warna diri yang telah lelah
menyedari luka
menyedari masih ada hijrah
ketika pintu muharram masih lagi terbuka

Telah terkurnia seribu rupa rahsia
di hadapan
di sekian penjuru liku yang terpandang
yang terdengar dan yang tersentuh
lewat pintu muharram ini
menggamit takwa
memperbaharui niat memulakan langkah.

Kota Kinabalu,
15/7/993


TATKALA BERADA PADA SEBUAH JAMBATAN
YANG KUPANDANG IALAH PEMIKIRAN
-  kepada  Aryatie, Ana dan Maria

I)
Beginilah
tatkala berada di antara beberapa persimpangan persoalan
berdiri aku di atas sebuah jambatan pemikiran
memilih arah hala perjalanan
mendekati impian realiti amat bererti
mengisi kehidupan tanpa mengenal bosan
sehingga tiba-tiba jambatan ini berputar-putar
dalam fikiran
sesekali menghala ke beberapa persimpangan yang lain
tanpa isyarat
meminta sesuatu keputusan muktamad

II)
Tatkala memulakan langkah-langkahku
benih rinduku, syahdu, aku keliru
mempersila kenangan datang
dan aku datang ke sini, di atas sebuah jambatan diri
mencari makna perjalanan yang tak pernah diam
kuperjuangkan
walaupun berdepan lara
berhadapan dengan cabaran kebenaran
yang menghuni ketabahan
menguji  utuh keimanan

III)
Beginilah,
tatkala kutemuimu  di saat kuhampir terlara
oleh impian-impian mencuka
kau hadir bersama semerbak harum bunga rasa
kausematkan di dada citrarasaku yang hiba
selalu memburu makna kehidupan sempurna
di  saat ini -  beginilah hakikatnya
tak henti kuhulur salam perkasihan
kau umpama dulu dan seperti kurasai hembusan  nafas ayumu
nafas istimewa peribadimu menjalin padu rindu abadiku

IV)
Aku bagai dulu hingga saat akhirku
berada pada sebuah jambatan pemikiran
menilai hala
arah kehidupan.

Lumadan - Beaufort.
30/4/95
KUCARI YANG KETIGA

kucari yang ketiga...

Kutemui kembali mataku
sewaktu tidur tadi dini
memalingkan jelingan pada huruf-huruf
meneja mimpi

Ketemui kembali kakiku
di suatu simpang fikir yang kemarin
mengingatkan sebuah gerhana
di beranda rumah

Kutemui sekali lagi tanganku
di sela likdah bercakar kata-kata
semalam melafaz sebuah rindu

Kutemui sekali gus kaki dan tanganku
yang kuhilangkan
persis dupa syukur yang kini
kueramkan di perdu mata mati

Aduh, papda berbisik muzik bocah
menceritakan kendara
yang lupa membawa

Sekali lagi kucari mataku yang ketiga
sekali lagi kucari tanganku yang ketiga
sekali lagi kucari kakiku yang ketiga
yang kutemui semua ada pada kepala.

Kota Kinabalu,
1993.

GETAR PENYAIR

Tidakkah kamu melihat bahawa
para penyair itu berkembara
tidak tentu arah sedangkan
mereka memperkatakan seusatu
yang tidak mereka lakukan...
            - Asy Syu'ara: 225

(i)
Gemuruh luruh lesu di sisi diksi puisi-puisi
saru menggocah rentak jejak penyair di bibir
mensaksikan sempadan kemanusiaan menyisir
sangsi
inikilau cermin batini
di sela-sela akar kelikir

(ii)
Ketika  menunggu reda resah batini
di hujung silau kasmaranmu
para penyair taksub menjelmakan diksi samar
meneyeberangkan kepalsuan diri
ke dalam irama lirik
bahasa lenggang songsang
menanggalkan kebesaran sebati
berdiksi aroma Illahi
bermuzika metafizika al-farabi
bergetar menggelincir ke gaung sesat naluri

Ya Rabbi!
Penyair, kelibat mamangmu ssungguh-sungguh
tiada rela undur menuipi takabbur!

(iii)
Relung kembaramu di semai benih
yang pasti tak hitam tapi harum dan putih
berisi kasih bererti
jelas memantul nawaitu khalifah
mengkhabar getar mekar kebun mawar.

Kota Kinabalu,
1991.

PIJAR KILAU KERIS

Menjadi bahana orang-orang besar
menarikan pencak silat risau rasanya

di hadapan cermin dendam lampau
keris hujah diacah ke arah sesiapa saja
tidak jelas siapa musuh
harus dirusuh
siapakah pak gendang
memberi pedoman?

Dengan keris hujah tanpa balut
kependekaran orang-orang besar dicemar
sekadar gema
bertempik membaca lincah langkah
beradu dalam gelanggang tanpa lawan
yang ada hanyalah
permainan pantomin seekor gajah
sekawan kuda belang dan sekumpulan seladang
keran diperbodoh mainkan!

(Sesekali mengenali semula
janji tuah dengan Jebat
antara taat setia dan sauara
tewas di hujung senjata buta
tapi pendekar di sini
telah lelah
dijerat jeritan perdaya
dan makna setia)

Kilau keris persisi orang-orang besar
menggetarkan tanah pulau
yang kacau!
Bayangkanlah ketika keris hujah patah
genta loceng meronakan suasana
bertalun di seluruh ceruk rimba
di mana nanti mencari pida paduka
yang diwarisinya di puncak Gunung Agung
menggapai kaki langit menyerah restu;
Bayangkan tatkala balutnya
mencari keris hujah yang patah
pantomin gajah, kuda belang dan seladang
akan menamukan tanah seberang
sedia siaga menakluk teluk kemelut
harus menjelmakan teguh
bukan kerana jaguh
tetapi suluh masa depan .

Kota Kinabalu,
1992.

Dewan Sastera,
Januari 1993.

TRAGEDI SUNGAI BULOH

simpati dan belas kasih
b
    e
          r
       n
              a
         f
                a
                      s
selaut riuh oleh geledak
berbaur
    cemas
  dan
ketakutan
nyeri seperti berperang
ataukah kehendak-Nya
datang
tiba
tiba
    mengambil hamba
ataukah kealpaan manusia
       yang
     hilang
    mengagumi
    untung  rugi
terkejut
terjerat oleh tak terkesempatan
apabila menjadi abu
arang harus di mana ditaburkan
apabila petaka menimpa
terjerit
mencela seribu wajah sesal
mencari hukum
di mana punca mesti ditarik ke tempat asal
atau mengembalikan  roh-roh mayat
kepada rerongga hayat

ah!  selepas terkena baru aduh bersuluh
selepas lama terlena baru ah!
sesungguhnya ini bukan
takdir semata-mata,
kita pikul segalanya
dari mata ke hati
dari hari ke kaki
dari kaki ke lali
dari lali ke api
ke api kita bawa derita
  kita harungi harumduka di dalam kering
hangus
 kesakitan ketakutan kepedihan
   tanpa berakhir di sana
esok adalah kewaspadaan
akhirnya selepass terngadah  baru bersedia
jika begini, begitu manusia?

Kota Kinabalu,
7 Mei 1991.

DI HADAPAN KERTAS KERJA

Bersedia membentangkan yang kufikirkan:
kumulai dari akar sejarahku sebuah kesabaran
seorang manusia mendekap cermin kemurnian
seorang pencanang kekusutan ilham

Bersedia menerima pisau yang kuasah
menyiat akalku yang mengilhamkan percubaan
memilih suatu kebenaran
atau meletakkan dacing penelitian
di atas kertas  yang kubentangkan

Dengan sehalusku kubicarakan dengan diam
bukan ketakutan atau kepengecutan yang menggetarkan
tetapi tikaman ini lebih nikmat
dari sebuah perdebatan yang berbalutkan dendam
yang keluar dari kalut rimba
getarsuara yang dilemahkan oleh bara silam

Di atas meja ini ilmu akalku tersantai
tanpa kata-kata yang indah
bukan kepalsuan yang menjerat kerdil diri
aku belajar dari kehidupan yang kecil
yang harus kujaringkan daki ilmuku
dari lupa yang kuhidupkan semula
dari akar ilmuku yang kukupas
dari semua kejatidirianku yang waras.

Memutik, Kota Kinabalu.
1993.

KIPAS

Bukan dinamakan kipas jika tidak menjanakan
angin dan
menyemarakkan bahang api hingga membakar

ruang rasa
bukan juga dinamakan kipas jika kipas
tidak mampu
mengembalikan bahang kepada asal sejuknya
yang semakin mereda mengatasi kerisauannya
maka, kipaslah tanpa henti, kipaslah semahu hatimu
jika kau tahu makna janaan kipas itu.

Akhirnya sahabatmu mulai lupa asal usul
jika bukan dari janaan kipas
akibat janaan hembusan angin itu
tanpa memandang siapa di bawahnya selain
si tukang kipas yang bebas menjana
dan menjana membaja cita-cita

dan akhirnya sahabatmu yang lain
juga yang jatuh
akibat anjakan hembusan angin yang menggila
menjalar akar bahang apinya ke seluruh ruang
yang tak dapat dihentikan kebahangannya

maka, hentikanlah menjana kipasan itu
jika kau tak bersedia memahami
kerisauan kian menjadi akibat bahangnya
yang memenjara dan menjerat sebuah makna
kejujuran.

Kota Kinabalu,
Julai, 1995.

KIPAS DI TANGAN

Kipas sebenarnya sudah berada di tangan
tapi sayang tak tahu bagaimana menggunakannya
dia menggaru-garu kepala dan semakin tua dia
memandang-mandang masa depan yang gemilang
memandang-mandang kalau mungkin tukang kipas
mampu menjanakan kipas yang berada di tangan.

"Tukang kipas berada di merata!" kata seorang sahabat
yang telah mulai terjana oleh hembusan kipas
yang telah dilepaskannya kepada si tukang kipas,
sambungnya, "soalnya, janakan danamu sebanyak
mungkin",kerana dia mulai papa sekarang
menanti rezeki yang tak pasti."Ini survival!"
sambil tertawa dalam seribu satu makna.

Mulailah dirasainya makna yang tersirat
dari janaan hembusan kipas itu
benar dia semakin bernama, dinamai dalam babak
demi babak asmara yang berahi tapi bukan berani.
Seperti sahabatnya, dia juga menanti pencarian
yang tidak pasti. "Apakah harus kujanakan
juga dari janaan kipas yang tersirat ini?"

Beberapa zaman berlalu. Kipas tidak lagi berada
di tangan tapi di dalam tangan nafsu.

Kota Kinabalu,
1995
DI MATA KIPAS

Terus terang saja dan katakan bahawa anda mahukan aku
yang memerhati gelagat cacat pada kotak mindamu

Katakan bahawa anda mahukan aku demi kipas itu
katakan hidupmu bukan hidup tanpa kipas dan aku,
si tukang kipas

Tapi sayang, aku mungkin bukan membantumu
kerana kipas yang kumiliki bukan kipas nafsu
dan jana hembusannya bukan hembusan ampu

Tak perlu aku korbankan daya alpaku jika kata-kata
dan gelagat cacatmu tidak berpakaiankan cita-cita
bangsa yang bermaruah.

Kota Kinabalu,
1995.

SAJAK UNTUK ISTERI

Kita tidak saja-saja menyeberang laut makna
sebuah kehidupan bersyurga
kita disatukan melerai sepi melerai gulana
melerai cari di mana bahagia bertahta

Ditakdirkan begini
aku mesti menulis puisi
dan kau tak pernah membacanya
katamu sia-sia
ditakdirkan begini
aku mesti melirik lagu gunung
dan kau tak pernah merasa nikmatnya
katamu kau lebih suka di tepi kali

Kita ditakdirkan memandu kendara ke simpang
berhenti dan bergerak
kita ditakdirkan membaa arah bulan setiap kali
menjelang
kita meniup arah angin bertentangan
tidaklah dilihat awan yang berarak ada akarnya?

Isteriku, marilah kita bersaksi
kerana aku selalu didekati taklik
yang kulafazkan

isteriku, mari himpunkan semula
muzik canda yang beraroma pujangga
menitip pintu syurga.

Kota Kinabalu,
1993

SEDIKIT CITRA KEPADA AMERIKA

Ya, anda persembahkan lagi permainan angkuh itu
menuang azab demi azab yang sebenarnya belum reda
di mata, di rasa, di dada anak-anak dan wanita
orang-orang tua yang tak tahu apakah dosanya,
anda hari ini menyampaikan sekali lagi hemat
yang tak terhormat, konon menghukum
walaupun tak pasti salah apa.

Tuan, kesakitan yang kudengar kurasakan sakitnya
ketakutan yang kudengr kurasakan takutnya
dukana yang kudengar kurasakan dukananya
bosan, ya, bosan, yang dirasakan tentang
perang, sengketa demi sengketa dan senjata
hanya punya jawapan: kejam, tiada lain.
Inilah sebutan di dalam halkum setiap umat
di timur tengah sana, di Baghdad
hari itu sungguh tak terduga musibah tiba
bukan dari Allah tapi dari si laknat yang
tidak berakal manusia!
Entah esok, siapa, di bumi mana?

Tuan, adakah kerana George Bush rela anda lihat
sekelumit bumi Allah ini musnah?
Lihat di Bosnia atau muslihat
anda di Somalia malah di mana-mana bumi dunia ini

Bagi tuan, George Bush sekadar hampir mati
kecuali akalmu yang terlalu angkuh
menafikan norma kehidupan insan
sanggup beralaskan alasan-alasan melulu
tetapi di mata kami George Bush telah mati
dipasung dendam tak bersudah
alahnya merasakan Saddam yang masih gagal
masih bermaya meneraju bangsanya, rakyatnya
dan negaranya yang tercinta.

Tuan, dunia ini tidak manusia kecuali
pada yang takwa menyedari kemanusiaannya,
ini dunia milik Allah Yang Maha Agung
anda dan anda-anda akan mati di tangan-Nya
dan Amerika akan lebur di tampuk Kuasa-Nya

Petagas,
Kota Kinabalu,
1993.
RUMAH INI TIADA APA-APA LAGI

Kisahnya bermula pada kamardiri
yang resah
membayangi para jalang
duduk di atas kerusi
di sisi sebuah rumah
kini tanpa pintu, tanpa jendela
tanpa tangga, malah
tanpa apa-apa

Rsahnya untuk jatuh
tidak berani bangun lagi
membuka pintu persila bayu
menguak jendela perila tamu
menegak tangga mempererat saudara
duduk semeja
menjamu selera jasa
warga bayah yang pernah diramahkan
suatu musim dulu kimi dilupakan.

Rupa-rupanya resah ini digandingi
debar menerpa
lompatan yang belum tamat di sini,
esok : lusa malah bila-bila...

Lari seberang janji ke seberang diri
mengharap kecundang saudara-saudara
berperang
mengepung rumah menungguh pincang?

Kampung Petagas,
Kota Kinabalu,
1992.

MENGHIDU BISIKAN API
- buat Saddan dan Bush

Inilah percaturan keangkuhan yang
    menggegarkan
dunia pelusuknya dan para kekasih
   keamanan
mendacing senario buas penguasa-penguasa
   bermain
api dan menghadang angin menerobos
   kewibawaan pincang
menyeret bangsa manusia ditakluk jahil.

(ii)
Antara niat yang dibungkus kukuh di atas
   buaian
angan-angan dan genggaman aniaya atau
   membenarkan
keadilan dengan keputusan impian dan
   keresahan
tanpa maya menangguh hasrat yang tersirat
bahawa esok adalah sebuah gelora yang
   direlakan
biarpun tiada kemutlakannya kecuali suatu
   memungkinan
kemenangan menjanjikan kemusnahan
manusia merenangi lautan bobrok
dan mendepani hidangan kehidupan yang
   hancur!

(3)
Mencernakan antara kecanggihan ilmu dan
    akal manusia
martabat itu dijulang dan diagungkan
mengakarkan bakhil dan jahil
membentuk kekerasan dan tamadun zaman
    menyaksikan
mayat dan bangakai berpulang dengan rela
yang dipaksakan mengalih kasih yang disisih
inilah musibah suatu revolusi habuan pedih
    membina sejarah sedih
menghukum kewarasan!

(4)
Memenangkan jihadatau membenarkan
    keadilan
kita berada di ambang dacing zaman
menuntut reda ditahtakan di mata akal yang
    benar
meniti di atas siratualmustakim kemanusiaan
    dan
cahaya yang berpinar di segenap raut wajah
    para
penguasa: hentikan perbalahan di bumi
kembali menghayati tafsir firman Illahi dan
    hadis nabi.

Kota Kinabalu,
18/1/1991.


KEMANUSIAAN
- reaksi ke atas Nooraryanny dan Noordina

  Serasa kerdilmu menerawang ke arah liang
takut dan cemas mengejar dari segenap ruang
cemas mengumpul keutuhan yang tak terkumpul
lagi di suatu saat gersang
suatu waktu amarah menggerunkan hati kecil
dan seperti gigi-gigi api menggigit kulit
kering!
ada mata tapi adakah pandangan sayang
ada hati tapi adakah suria kasih kasihan
 ada tangan tapi adakah belai lembut membantu
  ada ucap tapi adakah petah
     memecah kelu?

Desis keluh tak kalis biar apapun jaguh
dibenam
dikelam
merejam segala kejam, kekejaman
dibutangkan pada lubang yang bukan:
alangkah kemanusiaan diwarnai secalit jahil
berlakon atas kesungguhan
dan memanggangnya di belakang pintu
kemuliaan.

Alangkah!

Petagas, Sabah,
1990.


KETIKA EMBUN GUGUR DARI LANGIT

Jernih kolam ini
bening keheningan bralun
menakluk roh rindu

Kumenimang timbangan permainan itu
yang diatur sesusun waktu
waktu menyiku
menjajar yang mencalari ragu
menjalur yang menjalari kelu

Kumenuju kalbu
yang bergelojak dan menggeledak
menjejak punca kehendak
memimpin impian
yang datang berulang, ulang

Permainan itu kembara
mencabar kewarasan
mentahtakan kesabaran sasa
menatang berkocak iman di dada.

Petagas, Sabah,
1990.

MENGENAL MAKNA
"Sesungguhnya solatku, ibadatku, hidupku
dan matiku adalah untuk Allah Taala,
Tuhan semesta alam..."

Alangkah dekatnya antara pemisah garis ufuk
wujud seperti baqa'-Mu dan fanaku
tercipta langit dan bumi dan seluruh cakerawala
membatas akal ke arah laku yang sentiasa malu;
Mengenal makna kebenaran yang bulat dasar benar-Nya
pada bintang-bintang berkerdipan menghias angkasa
cerlang malam membenam kasih dan rindu
pada bulan, matahari menembusi gelap
menghadirkan pagi, memanas
membesarkan fizika mahluk seluruh alam,
    sungai laut an seluruh marcapada
tempat berpijak dan menenteramkan kebaktian utuh,
hujan, embun dan bisik mergastua;
Kenalilah ketika subuh dan terkuntum melata
ribuan bunga, tumbuhan, pohon-pohon memancarkan
kebahagiaan;
Ya-Rabbi, wujud-Mu itulah
memangku keterbatasan akal abdiku di bawah Keagunan-Mu
mengendara arus segara ke arah abid, insan rabbani
meneroka alam tenang
    khusyuk mengenal makna...

Kota Kinabalu,
1991.


BERLABUH DI ALUR TEDUH

(i)
Teranyam rasa persaudaraan
akrab tanpa batas memiliki kemahuan
menyimpan serpih kaca-kaca kehidupan
dicantum jadi cermin perjalanan
ke wajah silam
dan ilham menuju taman
melabuhkan bahtera hayat
di pelabuhan tenang
menghadapi kebesaran Yang Maha Besar
menemui kagungan Yang Maha Agung
mengakrab kasih Yang Maha Pengasih.

(ii)
Tentang kerinduan, tabah dan kasih sayang
anda rakamkan kemeriahan cipta seniman
coretan kamanusiaan
ada sapa riang menghiasi peribadi
sempurna menjaring mesra
tiada langkahmu songsang
tiada bicara menyingkap garang
selamba dan tenang
dikasihi kerana ketulusan
daya juang dan jatidiri
menegakkan kebenaran
menunjangkan pasak kewajiban
ini kerana ummah
ini kerana akidah yang gagah!

(iii)
Laung sunyi jelas pada riak ceria
menggamit ehsan memaknakan jiwa
hangat cita-cita
galak pencetus bara anak-anak nusa
bara seniman
bara mubaligh muslim bertahta
menatang padu akidah
iman adalah impian
bahagia adalah harapan
relamu kembar
bermuzakarah memecah sengketa
mengharung pancaroba dunia
dewasakan saujana yang dilihat bersama
walaupun jauh di dunia sana.

(iv)
Pelabuhanmu di alur teduh
Ngian, ini cetus kasihku dalam halkum
yang diam
bila anda pamit dan terbujur sendirian
tatkala di pentas kebiasaan kita
telah tiada

kecuali stanza-stanza puisimu yang mencerna
bahasa di cermin kalimah
inilah, kuperjelaskan dalam doa
mengembangkan cahaya-Nya
di alam barzah
al-fatihah...

Papar-Kota Kinabalu,
1992..


KEMERDEKAAN: MANIFESTASI MENGAYAM WAWASAN

Yang ditunjangi akar kemerdekaan ini
adalah pohon-pohon keluhuran
bertaut budi berperi
bersama setia menjulang kehijauan
dan warna-warni wangi bunga-bunga pertiwi
dan dengan persetujuan inilah
kemerdekaan mengakraban persefahaman
ras, percakapan dan kepercayaan

Kita telah didewasakan oleh permusuhan sesama
sendiri walaupun musimnya silih berganti
didewasakan oleh kelemahan yang disedari kini
selepas tiga setengah dekad
bertekad mengharungi makna bebas
bersama azam, bersama iltizam, bersama setia
bersama pertautan rasa, bersama perkiraan
debar, bersama benih wawasan dan impian,
bersama membina bangsa
harus digeruni dunia

Laung kemerdekaan diulangi setiap detik
di dalam diri
membangunkan setiawangsa yang dididik
impian lama sebuah waspada
dan cita-cita berbisik
kemerdekaan membawa kita mengenal kebal
cega mempersembah utuh yakin para juara
menjahit koyak batin yakin terhadap bangsanya
menafikan yang benar, mengiyakan yang bukan
inilah ironi yang merisik retak jiwa bulat
bangsa kita yang telah merdeka berdaulat.

Ertilah makna merdeka
sekali lagi: merdeka! sekali lagi: merdeka!
Harus jadikan payung atau kenderaan jiwa
tempat berteduh membenih kesungguhan
bersedia melayari kembara
darinyalah peribadi berperi
berani menyayangi, berani menyaingi
berani mengayman cita-cita tinggi.

Kota Kinabalu,
Ogos 1992.

CITRA SI TUKANG KIPAS

Barangkali bukan semata-mata kebendaan
memaksa dia menjanakan hembusan kipas itu
benar, memang takdirnya, dia mewatakkan
si tukang kipas yang tak pernah lesu.

Kebendaan tidak bermakna bagiku, katanya.
Apa ertinya kebendaan jika aku
seringkali diperbendakan oleh kemewahan,
sekarang, dengan watak si tukang kipas ini
aku perbendakan kemewahanku untuk menjana
tak usah fikirkan bahawa seseorang akan kehilangan
punca kepercayaan
tak usah fikirkan bahawa seseorang akan berada
dalam genggaman kebendaan dan kemewahan
dan lupa tentang kebenaran.

Katanya, apa yang harus dimegahkan
dengan kebenaran jika kebenaran juga akhirnya
dinoktahkan oleh cita-cita kebendaan dan kemewahan
lalu lebih baik watakkan saja si tukang kipas
demi kehidupan
dan hakikatnya memang demikian...

Siapakah ingin menafikan, ayuh, mari debatkan!
Si tukang kipas berada di merata walaupun pasti
si tukang kipas itu seorang yang pemalu
tapi lebih licik daripada penjujur
si tukang kipas berada di sisi sebagai kuli
si tukang kipas mereka ungkapan-ungkapan retorik
tanpa serik
si tukang kipas menjanakan keistimewaan yang ada
dan dengan keistimewaan itulah dia janakan segera
segala kebendaan dan kemewahan untuk memperoleh
kebendaan dan kemewahan yang  lain

Ditakdirkan perwatakan si tukang kipas itu
sesiapa saja
akhirnya, siapakah yang datang ke hadapan berdebat
pendapat
betapa watak ini tidak akan mati atau dimatikan
dalam lakonan kehidupan...

Kota Kinabalu,
Julai, 1995.
ANAK-ANAK MONGEL

Senario detik awal mengenal jagatraya ini
tanpa belaian manja ibu ayah
dan tak kenal leluhurnya
(seharusnyalah: pasangan manusia saling menyinta)
yang menanggalkan pakaian tanggungjawab
meriwayatkan sejarah nafsunya
dalam longkang-longkang
dalam lubang-lubang tandas
dalam tong-tong sampah
di sipi jalan, belukar dan halaman rumah

Detik awal menelusuri lorong-lorong kosong
tangisan liar melagukan nyanyian sunyi
irama nyamuk dan agas,
tali takdirkah seperti sering ditonton ini
nafas berakhir ditinggalkan tanpa tarikh lahir
menanti saat perkabungan entah adakah
ungkapan terakhir?

Anak-anak mongel
lahir di tanah air yang merdeka
tanpa perang, tanpa malapetaka
Anak-anak mongel
mati di tanah air yang merdeka
tanpa perang, tanpa malapetaka
Anak-anak mongel
berdiri dalam dunianya sendiri
membelah duka sunyinya
di tengah kedunguan dosa-dosa manusia
yang lupa di mana leluhur mereka
berarus dan menggelombangkan citra lara
di dada sebuah tanah air yang harmoni
di mata sebuah tanah air yang harmoni
di kepala sebuah tanah air yang harmoni...
-HASYUDA ABADI,
Kota Kinabalu,
Julai 1995.
KAKAKTUA
- kepada kakak tua

masih kumenganggap bahawa omelanmu
tidak lebih dari omongan si kakaktua -
hanya ikut-ikutan, angguk-anggukan
merakam segala
dari kilaukata
yang tidak difaham
mencitrakannya di tengah angkara waham.

-HASYUDA ABADI,
Kota Kinabalu,
1995.


SANGKAR

pada mulanya kehidupan tak seharusnya
di dalam sangkar, belajar mengenal diri -
kehidupan di sini telah membangun minda.
Barangkali ada batas yang menggalang percakapan
seperti ini.
Mari keluar dari dunia bebas, buka minda,
buka segala pintu rumah yang mengurung gerakfikir
- benarkah begitu?
Kenyataannya, begini
kehidupan di sini
lebih bermakna.

-HASYUDA ABADI
Kota Kinabalu,
Julai, 1995



LIPAS

Masuk ke dalam dunia lipas, seperti kata rakanku,
seorang penyair sering kehilangan lipasnya.
Kegelapan adalah duniaku; percayakah saudara
bahawa dari alamgelap itu kita  lebih mampu
mengolah kelopak kata-kata cantik
yang dianyam,di seluruh waktu malam...

-HASYUDA ABADI,
Kota Kinabalu,
1995



KETIKA WAKTU HUJAN

tak pernah mudah untuk memilih
apa lagi membuat keputusan saat ini
tatkala hujan tiba ..

teringat nasihat ayah, ingat pada payung!
Saat itu hujan bukan saja hujan namanya
tapi hujan membanjiri fikiran
mengapa payung berada di mata bila hujan

jangan lupa! Nasihat ayah lagi, payung
mengajar kita bersedia, sekurang-kurang
mengelak dari membasihi kepala dan mata...
Hari itu, ketika hujan, seorang ibu muda
terpaksa merangkul anaknya, mengelak tempias
hujan, kami berteduh bersama yang lain
pada sebuah perhentian, namun basah tidak
memilih sesiapa..yang dinamakan hujan, jika
bertanya apa dapatmu, tiada lain jika bukan
basah!

sebenarnya aku juga tidak bersedia
sesekali teringat pada nasihat ayah,
payung kubawa, itupun bila sempat
melihat hujan. Hari itu, ketika menunggu
dan memilih waktu, aku memandang anakku pulang
dalam keadaan basah, dia tidak mengangis malah
tersenyum. Katanya, ayah, aku basah, aku basah!
Dia berlari-lari meredah lorong yang mulai bah

apabila terlupa menyediakan payung
sebelum hujan tiba, tiada upaya kupilih
selain nasihat ayah biarpun basah, membawa
sarat makna berguna...

- HASYUDA ABADI,
Kota Kinabalu,
Julai, 1995.


WANITA, BUNGA DAN RAMA-RAMA

Akulah wanita
kata seorang wanita padaku

Aku mula mencari erti kata-kata ini, tatkala
aku mengenali seorang gadis yang masih bersekolah
seketika mengolah rasa, melangkah ke dalamnya
sebuah rumah yang teradun hiasan
bunga-bunga
dan rama-rama...

Akulah wanita
kata seorang wanita padaku

Aku masih ingin mendekatinya, ketika itu dia
sudah agak dewasa tetapi masih manja dan mudah
mengalah, dia menyampaikan hadiah sebuah puisi
kepadaku. Antara lain katanya - bunga-bunga dan
rama-rama ... aku terluka kerana itu!

Akulah wanita
kata seorang wanita padaku

Tatkala aku sudah berumahtangga, dia
seorang wanita yang sudah terlalu dewasa
tapi masih tak mengerti
bunga-bunga dan rama-rama. Dia berada di
kalangan gadis-gadis berusia masih
mencari identiti kewanitaannya antara
bunga-bunga
dan rama-rama...

Wanita di taman bunga
wanita di taman rama-rama
wanita di mana-mana akan belajar bagaimana
menganyam bunga dan melukis rama-rama.
(Aku melangkah bersama wanita yang kupilih,
kerana tahu makna bunga-bunga yang dianyamnya
dan rama-rama yang dilukisnya untuk
sebuah taman rumahtangga).


Kota Kinabalu,
Julai 1995.


SEBUAH FORUM

Forum  berlaku saban waktu?
    Sahabatku tertawa mendengar
ini, katanya, Dah, kau terlalu berfikir!

Ya, benar,
itulah yang kufikirkan
forum yang berlaku saban waktu
di hadapanku, tanpa pengerusi, tanpa ahli
menghujah topik semasa yang bersari
     rumahtangga para tetangga
artis yang mendagang diri dan wajah hilang arah
     perogol di penjara saja
pemimpin rasuah didenda saja
     bola, bookie dan sepakannya dibuang
daerah
     anak-anak mongel dibuang merata
solekan pengantin yang tak kena
     politik pejabat,kipas dan kipasannya
accident tapi bukan di jalan raya
     saudara-saudara menghantui saham untuk kaya
...?

Forum agama tidak begini? Sahabatku bertanya.
Tersenyum aku dan menjawab: ini forum harian
kegemaran kebanyakan orang, soal-soal rohani
dipinggirkan, dahulukan bicara popular, siapa
dulu dialah yang jago glamour!

Forum adalah cetusan fikiran
saat ruang  
dibanjiri seribu satu maha tahu dan
seribu satu mahu tahu.

- HASYUDA ABADI,
Kota Kinabalu,
Julai, 1995.

LAKONAN

Mengalaminya lewat seorang sutradara
iaitu diriku sendiri,
telah mengajar lakonan-lakonan yang tergambar
dalam mindaku, sebuah pentas waras
tentang tantangan kisah keterasingan
dunia di hadapan kebiasaan,

tak pernah kuimpikan sebuah sanjungan
seumpama pujian, bukanlah aku jebat
yang ingin mendirikan kebenaran, aku
hanya mewatakkan kebenaran itu dalam
mata fikir jebat!

Tuan, aku percaya kebiadapan,
kejujuran dan kepercayaan bertempat
tak pernah kuimpikan bahawa sedikit nila
itu mewarna segala nilai keputihan,
walaupun kejujuran masih belum beralas jelas
di hadapan cermin penilaianmu.

Seorang sutradara tak ingin meminta lakonan
ini diteruskan, di hadapanku sebuah lingkaran
perasaan, teguh menelaah letaknya kesilapan
dan kepercayaan, di hadapanku sebuah persoalan
yang tak mudah dinoktahkan...secebis kisah
antihero, antiklimaks, antikebiasaan...

- HASYUDA ABADI,
Kota Kinabalu,
23/7/95.






DANGDUT YA!

Jangan menyangka andalah yang benar
andalah yang besar
sehingga kata-kata menghias popular
kalangan kami anak-anak kurang ajar
seumpama petualang kehilangan ujar

ujar kami dimamah, dikerat-kerat oleh prasangka
ujar kami dibiar bernanah, membuncit sarat oleh
omelan dan fitnah
jangan menyangka andalah yang gagah
sehingga bicara tidak berisi madah

dangdut ya, gelombang tenang duniamu
seperti seladang, dangdut ya, ya-ya anggukmu
seperti seladang, dangdut ya, ya-ya akurmu
seperti seladang, dangdut ya, ya-ya ukurmu
seperti seladang, dangdut ya, ya-ya muslihatmu
ah!

seluruh indera mendakap keangkuhan budi
akan alahlah nanti jika alah oleh naluri
bersiap ingat, kita anak-anak bermartabat!



- HASYUDA ABADI,
Kota Kinabalu,
23/7/95.



TUAN

Kelibat tabiat tuan bukanlah sehebat
kuasa sasa Pencipta, apakah salah
bila langkah yang kami mulai adalah
suara kuasa yang tiada pada sesiapa?

Seorang penguasa, sasanya pada cara berwibawa
sehala jalantegasnya pada tertib wajib
bukan hala tusukan jarum yang membezakan
akrab dan karib

Kami hanya percaya pada kewajipan
perintah, arah dan kerah
tak mungkin membantah, di bahu kami
undang-undang bernafas sehala pada janji.
Kami tak mungkin berpatah, pandanglah
kepada segala arah bukan berbelah-belah
nilai budi harus sejajar dengan harga usaha.

Kami umpama lampu dan tuan umpama mata pada
lampu, tuan tak mampu memandang jika lampu
tak mampu menjelaskan ruang pedoman
berilah kepada kami ruang itu bukan sanksi
bukan juga sangsi,

di bahu kami wibawa yang bulat bermakna
di bahu tuan wibawa yang utuh membutuhkan
makna kehidupan yang diamanahkan Tuhan...


Kota Kinabalu,
23/7/95.






KESILAPAN

Jika kutahu, dari dulu aku bersedia,
    mungkin kau tak percaya; hakikatnya,
aku tak mungkin tak melakukannya.
    Jika kutahu, mungkin, aku harus selalu
memandang diriku dari luar diri,
    memang lucu; hakikatnya,
aku tak mungkin tak melakukannya.
    Jika kutahu, dari mula kubuat
keputusan, di hadapanku adalah
    ranjau-ranjau kesilapan; hakikatanya,
aku tak mungkin tak melakukannya.

Barangkali aku perlu tahu
    satu hari nanti aku pasti tahu kerana
kesilapan ini mengajarku tahu
    dan tak melakukannya kali kedua;
Hakikatnya, aku tak pernah diberitahu
    sebelum bermulanya hari
dan waktuku memulakan takdirnya..

Kota Kinabalu,
23/7/95.




TATKALA DIMINTA MEMILIH

Ah, aku sering pusing!
Tatkala diminta memilih kewajipan
dan kejujuran, aku tak dapat melupakan
tatkala waktu hujan. Payung bukan jawapan
untuk mengelak diri dari basah, berteduh tidak
bermakna jujur dari terhindar tempias hujan,
percayalah, tatkala diminta memilih
lewat waktu itu, keduanya
bukanlah jawapan!

Saat aku cuba mengingati sahabatku
dia memberi pilihan antara kejujuran kata
atau kewajipan rasa. Aku tak mungkin menjawab
kerana persahabatan ada etikanya
bagaimana memelihara dan membelai setia

Tatkala diberi peluang untuk memilih
aku sering gagal untuk mentafsir dan mentamsil
kewajaranku
Akhirnya berdirilah di tengah-tengah tanda
tanya
apa saja, dan nyatakan jawapannya...

Ah, aku sering pusing..!


- HASYUDA ABADI,
Kota Kinabalu,
23/7/95.





SEBUAH ANTOLOGI

Menelaah antologi sebuah kehidupan
mampukah menampilkan pedoman
sewaktu menelusuri lorong kosong
mendampingi kemuliaan
mendampingi kedamaian
akhirnya mentafsir kelam sebagai cabaran,
      kerana itulah antologi kehidupan lampau
      menjadi lampu penawar kegelapan
      sesebuah kehidupan

Kita teladani antologi kehidupan itu
menterjemah amanah Tuhan
kita mulakan rentak
kelana itu dengan irama yang enak
menelaah antologi pengalaman
kita teladani antologi kehidupan itu
mengadunkan warna-warni
pedoman lukisan kanvas diri

Seringlah menoleh antologi itu
kita harus belajar menghafal siratan
kehidupan demi kehidupan azali...


Kota Kinabalu,
24/7/95.



MENJANA PUISI
- Buat Marzuki Ali dan Ismaily Bongsu

tak dapat kubayangkan ketika menjana puisi
di hadapan cermin gelombang diri
citra lama berhadapan dua manusia
pada sebuah cermin sastera.

saudara-saudara dilahirkan di dunia ini untuk
mencipta puisi, membacakannya sebagai halwa
jutaan telinga, menjanakan arus gelombang minda
yang menyemarakkan sebuah wacana fikrah,
saudara-saudara dianugerahkan akal untuk mengekalkan
anugerah itu membentuk kehidupan
yang pincang dan goncang,
menegakkan ikhtibar kemanusiaan

saudara mencipta puisi untuk apa? Tertegun
mendengarkan ini, tapi inilah,
puisi tidak menjadi puisi jika tidak berhadapan
dengan cermin kemanusiaan, cermin perasaan,
cermin kebenaran,

aku masih teringat ketika di hadapan cermin
bayang-bayang keberanian, tegas, lantang
dan kehalusan berang menusuk perlahan-lahan
ke dalam saluran nafas perjuangan
menjana puisi-puisi cermin keharmonian.


Kota Kinabalu,
1995.




SAUDARA BELUM MEMBALAS
WARKAH PERSAHABATAN ITU
- buat Aryatie

Persahabatan lazimnya terhalang oleh nilai
dan makna
persahabatan itu, di mata pisau waktu
terbayang parut mesra luka lama

Ingin kuulangi, saudara pernah mengajarku
tidak mengerti dalam penilaian ini
saudara pernah mengutus warkah sehingga
sukar kumentafsir makna persahabatan,
apakah arus rasa harus dibelokhalakan dan
akhirnya
persahabatan umpama sungai maut yang tak
ketemu mulut laut persahabatan yang lebih
saujana?

Inilah pertanyaan dalam warkah dan saudara
belum membalasnya hingga tiba waktu senja...


Kota Kinabalu,
1995.





BICARA KEPADA KEKASIH
- buat Shukri Shaifuddin

malang sekali saudara kurang mengerti
makna
satu persatu tentang kekasih;
memang, kita
harus jujur, mempadukan keikhlasan
apabila mengorakkan langkahfikir
begitulah ketika menelusuri malam;
kita harus lurus menjanakan amalan
memperteguh pasak iman, memelihara murni
aqidah, kita
harus mendekati kebenaran itu, kita
harus mengerti, siapa di sisi kita
jika bukan Kekasih.


Kota Kinabalu,
25.7.95.




BAJU ANYAMAN MAMA

kali ini kuanyam puisi untuk mama
seperti ketika mama menganyam
baju buatku.

ya, ma, baju itu masih kupakai tak
kira bila, kawan-kawan pernah bertanya
siapa menganyam bajuku ini, kataku, mama;
mereka tidak mengerti kerana baju ini
saja bajuku!

memang aku tak pernah menyalin pakaian
selain membajui baju ini, ma; ingat pesan
mama, baju adalah pakaian yang tidak harus
dilucutkan walaupun di hadapan itu
ada baju baru, tapi kau harus ingat, itu
hanya baju, bukan baju sebagaimana anyamanku.

ini baju yang kupakai
anyaman mama yang kupelihara hingga kukenal
diri sendiri dari mana berasal..


Kota Kinabalu,
1995.



INFLASI

Melebarkan anggapan bahawa algojo
hidup di mana-mana, mempermainkan kekejamannya

Kali ini menyimpul tali keinsafan
di sekeliling sentiasa saling memerlukan

Sampai di mana, memintal peluang
seakan mempergunakan retoriknya
konon keinsafan ini ampuh, tapi
memperdaya

Harga kemanusiaan tak mampu dinilai
dengan harga seorang algojo
kesilapan sering bermain di pantai
kemewahan...


Kota Kinabalu,
1995.




RINDU

Barangkali lukis saja wajahku di kanvas minda
seperti kulakukan ketika merindui seseorang
yang jauh di seberang rasa;
malam waktu yang sesuai untuk melukiskan wajah
membayangi kemunculan bicara dan saling
memecah kancah suasana gelora;

ah! lukisanku sering saja basah oleh
hujan rindu yang datang tak menentu!

Barangkali bukan kali terakhir
membicarakan lukisan-lukisan yang kaulukis
di atas kanvas malam,
akupun masih mencari-cari kehilangannya
malam sering mencuri keakraban ini
dan memulangkannya ketika sarat hingga
tak mampu untuk mengulangi pengalaman
yang sama

Barangkali malam inilah jalan sunyi
mengalami album kehidupan dari cermin murni
mengajak kelana mendekati realiti
bahawa embun rindu sentiasa berharga segar
menguntumkan semula bunga-bunga mekar.


Kota Kinabalu,
1995.




TANGGAPAN

Sejauhmana ketulusan kutatang dalam acuan
persahabatan
tak pernah kualpa membentuk semula
makna kesilapan lampau
ia adalah lampu yang mampu membantu
mengorak jejak ke taman pedoman
tak pernah kulupa menelaah diri
tentang kesempurnaan
yang tak tertara sebagai insan

Memandang sebuah pagar teguh di hadapan
persahabatan rupanya berbatas, baja setia
masih memungkinkan sebuah makna yang lain
membayangkan ketulusan itu masih berjurang
meneruskan perjalanan
jauh di saujana tergambar gelora lautan
apakah kau masih bertaut di dahan takut
sangsi ketika menelusuri gelombang tandatanya?

Mari masuk ke dalam peribadi ketulusan
di sini kita corak semula makna persahabatan



Kota Kinabalu,
26/7/95.




GUMAM

Memang, bukan mudah menterjemah madah
suatu waktu di mana kelu lidah
lebih suka memilih gumam, jika tiba
waktunya suara tak berjiwa, hampa
terpenjara di dalam kelam prasangka

Siapakah yang lebih gagah lalu berdiri
bangga, tatkala akalnya telah diasak
mewah, mindanya telah disuntik benih
memperdaya? Siapakah yang lebih berduka
lalu gumam, tatkala penjelasan terlalu
sukar berakar, terlalu payah mengalah?

Menterjemah batini daripada sebuah pengalaman
menjadi sedemikian payah, seolah-olah pasti
raja itu di mata dan sultan itu di hati!
Walaupun gumam, denyut nadi sentiasa mencermini
pengalaman lampau, rakit kesilapan yang hanyut
jangan biarkan hanyut, teguhkan kerenggangan
ikatannya dan tujuilah hingga ketemu lautan sebenar

Barangkali lebih baik gumam
menterjemah warna ketenangan dalam diam
menelaah kecantikan bahasa batini menghadapi
cerminan kehidupan begini.

Kota Kinabalu,
1995.




SARI KEPULANGAN
- mengenang allahyarham
Tuan Haji Pengiran Abbas Pengiran Hassan

Aku teringat nenek yang akhirnya pulang
setelah lama kelana,
suatu petang dia kembali ke wilayah asalnya
sebagaimana orang lain, insan lain, mahluk
Tuhan yang lain.

Tak dapat dibayangkan sewaktu pulang
keadaan menjadi terlalu memilukan
seolah-olah alam kelam dan kosong
memandang nenek yang diusung,
tiada iringan
selain kalimah al-Quran yang pernah
nenek semai sejak kecil
sebagai petunjuk dalam iman dan tamsil
di mata kandil

Nenek berjuang sebelum pulang
tak pernah alah biarpun usia memang
sudah mencecah petang,
nenek berperang: iman senjatanya, tabah
tawakal dan takwa peluru hikmahnya,
namun Allah jua yang berkuasa sasa
usai usia nenek telah terpahat
di loh mahfuz dan pulang semula kepada-Nya
sebagimana orang lain, insan lain, mahluk
Tuhan yang lain,

"Ya Rabbi, himpunkanlah hamba-Mu ini
di antara orang-orang yang Engkau sayangi..."



Di celah-celah dahan kenangan
ini pautan kalimah,
isteri dan anakcucu akan menterjemah
dari dalam kilau cerminan amali iman
setiap gerak nadi tabahnya
setiap gerak nafas tawakalnya
setiap gerak denyut takwanya,
kepulangan ini cermin
sari bayangan karisma nenek meneruskan
sasa langkah menjejaki cahaya kebenaran.

Teringat nenek yang pulang, memang, teringat jua
suatu kepulangan yang sama, cerminan nenek menjadi
tanda beringat dan memanjat
petunjuk Yang Esa
segala rahmat-Nya menunjangkan akar keinsafan
sasa menyokong pohon kehidupan...

- HASYUDA ABADI,
Kota Kinabalu,
1995



DI KUNDASANG KUCARI API

yang memutih itu serba purba
murni, suci dalam kelopak bunga canda
menemukan kami dan menganyam madah
merinda rindu menjunjung wacana
tanpa boneka mengunci suara di kolam maya

sepanjang gunung kilau memanah batunya
teguh mindaku disapa, menggugah warga
gunung semarak bakti
nusa kami bertempik menggegari dunia leka
sejurus terluka
manusia tempang pedomannya

gunung itu keabadian sikap
di kundasang memeri keabadian ungkap
mengagungi kebesaran Illahi
kedamaian tanpa api

di sini kucari api.


Kundasang, Sabah.
1994





DONGENG KECIL SI KANCIL

Ia menyeberangi kolam,
kali ini di belakang kerbau kerbau.
kerbau kerbau di seberang kolam,
kali ini membayangi buaya.

Kali ini kerbau menanduk buaya
dan waktunya kancil menendang kerbau
mengumpul tawanya  melihat kerbau kerbau
mencucuk hidung sendiri
kali ini
selepas sahaja hujan dan getir selesai
si kecil kancil tertawa melihat buaya buaya
membaham diri sendiri.


Kota Kinabalu,
1995.



MENDEKATI DESA

Bila didekati kemelut sebenarnya menyimpul
makna warna jingga menyeberangi duri saujana
desa terpinggir

Seperti lewat jalan ini menyeberang liku batu-batu
habuk dan waktu yang panjang
mendekatkan kata bahawa ada duka yang disemai
di ladang negeriku.

Ketika menyusuri jalan ke arah wawasan
aduh masih terdengar
tak lapuk disapa masa beredar
tak lapuk berlagu di bibir generasi lampau
dan generasi risau

ii.
Para pemimpin desa berkumpul suatu hari
hari kenduri
bincang mereka bagaimana mendatangkan YB
menimbang keputusan dan segala janji

Pilihanraya umpama ketam yang berjalan dalam lumpur
berbicara tidak seretorik dahulu kala
di atas pentas tanpa kuasa dan ketika berkuasa
di atas kerusi langsung alpa wibawanya!

iii.
Hari itu, liku yang dilalui masih sama
bertahun menunggu wajah baru
warna desaku masih seperti dulu
pemimpin berganti
duka kami tidak

Katajanji bersilih diucap
katabukti tak selesai digarap.


Lumadan, Sabah.
1995.

HARI-HARI LAMPAU ADALAH LAMPU
( selepas merenung lilin bunda...)

Sebagaimana hari-hari lampau
kita rela melihat wajah-wajah periak wawasan di atas
pundak kuasa memancarkan arah dan cinta nusanya
yang dibangunkan oleh suara-suara tanpa kata
di bawah
yang dilamun seribu satu impian lama
yang datang dari rimba naluri mendamba nusa sentosa
dicapai seutuhnya pada riba

Sebagaimana hari-hari lampau
lampu sejarah sentiasa mengiringi pengalaman
berjela-jela ikatan persaudaraan disimpul
hanya pada ketika sesiapapun perlu diberi keutamaan
tanpa satupun tinggal, jelasnya lagi, tanpa satupun
akhirnya ada yang duduk di pundak kerusi kuasa
kita duduk di bawah memandang ke langit raksasa

Sebagaimana hari-hari lampau
kita melihat lakonan-lakonan yang tersirat makna
makna kejujuran, ikhlas dan amanah
suatu waktu kita terpaksa bermusuh, mereka-reka fahaman
beraksi jaguh di pentas yang sesungguhnya asing
sekarang kita berjumpa seperti biasa
dan seperti tidak ada apa-apa berlaku
tenang, riang - kita bersalaman penuh mesra
Selepas itu, kita menjadikan sejarah lampau sebagai lampu
isyaratkan kepada jaguh yang dijunjung, disanjung
terhadap tanggungjawab yang terbentang di bendang
terbentang di samudera luas
terbentang di perbukitan dan lembah
di mana-mana yang masih menyerah kepada keadaan
semata-mata
pancarkan suluh hikmah ini pada hati bukan pada wajah dan
kuasa
pancarkan suluh  hasrat yang terbenam sekian lama pada rasa
tidak membunuh mereka dengan kertas-kertas bermusim
berterbangan di udara bersama-sama debu-debu
tidak menjerat mereka semasa taufan melanda
pada negeri
tercinta
ini.


Kota Kinabalu,
1994.

Mingguan Malaysia,
1995.


LUKA SENGKETA

Sengketa disulam halus menakluk murni
wargaku yang semakin petah berhujah
hebat menghukum kebenaran
kian angkuh melabuhkan emosi di hadapan
pentas perdebatan
perjuangan kemelut yang menjerut
martabat waras walaupun terpaksa tersisa
tersisih dari peta warga setia.

ii
Sahsiah kemahuan seharusnya teradun kental
telah memesong minda kosong wargaku
diperbudakkan melerai korpus harmoni
diperdaya dibaham sengketa menggajah juang
sia-sia dalam talun gendang perbahasan sumbang,
diriakkan lagi oleh wasangka tanpa alas
mengunci benci
memenjarakan kebenaran yang sesungguhnya benar
memendam utuh dendam-dendam sejarah
meruangi rentak retak
menangguh kenyataan wawasan persaudaraan.

iii
Mengenali jalur-jalur peta retorika kuasa
lebih baik hidupkan jantung bangsa
di tengah-tengah riak sengketa
biarpun beza ketika berhujah kata
kita junjung integrasi di bawah rumah demokrasi:
    inilah rumah harmoni
       inilah rumah makmur
          inilah rumah impian
nilai keunggulan negara tercinta
mempercayai kekuatan yang telah dipasak
diakarumbikan sejarah kemanusiaan warganya,
siapakah pemiliknya jika bukan kita
anak-anak yang telah digembirakan oleh getar kemerdekaan
di mana telah tumpah darah kerana setia
sekali lagi: setia, sekali lagi: setia!
harus maknakan setia ini.

iv
Tarian kebenaran harus patuh pada rentak
toleransi
berpadalah melimau keris ketika menghadapi
acuman sengketa kerana dendam semata
apa lagi haloba cuma akan punah dijilat api
angkuhkuasa
apalah ertinya sengketa-sengketa ini ditahtakan
di atas persada citra cita
dengan derita warganya
balutlah luka ini demi sejahtera generasi
anak-anak merdeka
ceriakan minda subur kedewasaan mereka
yang menghijaukan tanah air ini
menghimbau cita-cita nusa
tanpa sepatahpun ungkap taatsetia dimuntahkan
sekali lagi: tanpa sepatahpun!

v
Bisa sengketa ini harus dilurutkan
dengan jatimesra dalam muafakat
atau renungi kemahsyuran tanah air ini
bumi pusaka bertuah yang dijelmakan aneka rumpun
dan warna budaya
berapung sentosa di tengah-tengah medan nusantara
memelihara kebenaran
bersama.


Kota Kinabalu,
November 1992.

Daily Express,
6 Disember 1992.



PUISI INI KUTULIS SEWAKTU HUJAN KERING


kutulis puisi ini sewaktu hujan kering
sewaktu kupulang membawa kepulan-kepulan awan
putih dan hitam
tapi lihatlah pelangi ini
pelangi ini melengkung lewat kalbu
tersendu

segeralah angin sampaikan salam
hari-hari berlalu tanpa menyedari bahawa
aku terimpi
lelaki ini tertanda setianya
berada di atas pentas murni ini
tiada yang harus ditulis selain puisi-puisi
kebenaran diri
 ikhlas dan tulus
      sedar dan wajar
mewarnai perkebunan citra minda antaranya
kutahu akan terurai
bahasa sepi yang berbicara
sendiri mengakrabkan kejauhan.

hujan kering
angin kering
saat itu embun mulai bangun
dan mengembangkan sayap dingin.



Kota Kinabalu.
1995.





KETIKA MEMANDANG BULAN
    AKU DI JENDELA RINDU

Membuka pintu keliru di rumah kalbu
hanya kuperolehi penghuni rindu.

Asyik mencorak warna laut biru
gelora lautku tak dapat kudakap
sungguh utuh memerangkap.

Arah pandang berliku-liku
sewaktu hinggap di pohon rhu
terurai mega kelabu jadi biru.

Rupanya kenangan
yang kuanyam
mencelekkan buta saujana
menyapa camar berkelana
dalam rimba syurga.

Bulan mengambang di hati
menggelombangkan darah
menyusuri akar kembara
di ufuk citra.

Bayu mengucup sari bicara
gurau senda
ditimang mendodoi maknanya.

Kota Kinabalu
1995



EMOSI MERONTA


kuhampiri nyeri yang menyeramkan
ketika masuk bertandang ke dalam
alam kayangan
emosi mengajak kumeronta
tatkala kelam malam
di penjara lara
sepi menolak ke pinggir
memandang jendela dan langit jingga

adakah kau
terbang di sisi kunang-kunang
merentasi kelam malam
sesekali terdengar ungkap
kau berlari-lari di tengah pengap
jelaga apakah
cuba disembunyi?

mungkinkah aku
yang tiba-tiba berkelana
di rimba citra?
belayar dalam alun muzik
yang berbisik sewaktu terurai rasa
putaran ingin melingkari musim bercitra
melerai mabuk
yang kudiamkan
melerai mabuk
yang kudiamkan
melerai mabuk
yang kudiamkan...


Kota Kinabalu,
1995.




GELORA LAUT KALBUKU

seperti ingin kujangkau saujana lamunan
menyambung semula warna hijau yang kutinggalkan
daripada kelopak daun hari
kulepaskan ketika terasa tercuba
untuk turut melangkah seperti sekarang
aku sedang berhadapan
dengan penjaga taman bunga
halaman wangian
di situlah duri berliku
memenjara nafsu
menghadang langkahtua yang kembali
kugerakkan tanpa silu

sekarang kupetik bunga
warna putih berduri tapi mesra
ketika luka hariku berpindah kepada minda
berdarah tanpa warna merah
bersinar memancar arah
di situ mindaku diburu
dan berlari
meluru seluruh penjuru
laut biru
laut kalbuku
yang mulai bergelora gemuruh.


Tawau,
1995




MENUJU RUMAH TUHAN

adalah kerana kewajipan
sebagai mahluk Tuhan.

Menghantar ibadah lewat sungai usia
dan bertemu di laut saujana
suatu masa
yang bakal ditempohi jua.

Ingatkan Dia
Dia ingat pada kita.
Kasih pada Dia
Dia kasih pada kita.


Kota Kinabalu,
5 Ramadhan 1415.




DI DALAM MIMPI


yang kutemui dalam mimpi adalah diri
sendiri
dan sebuah cermin

apa yang boleh kupandang
ialah diriku yang mengukir sejarahnya
melakarkan citra kehidupan dalam
sangkar

suatu suara kudengar
tanpa wajah dari dalam cermin:
apakah ini pertemuan
atau mimpi?

dia berpesan:
cermin diri adalah citra
memandang peribadi
menjelaskan kebenaran
menghias kebenaran itu
harus dengan segala ketulusan akal
waras akrab terpadu di kalbu.

Kota Kinabalu,
1995.



SAHABAT


akhirnya aku memilih ladang sahabat
yang akan kusemai kemurnian
membajainya dengan keimanan
tiada lain yang kuimpikan
selain kehijauan
subur dan ranum sewaktu menuai buah

inilah kebun persahabatan

datanglah ke kebunku
mengunjungi ladang sahabat
kuharus liburkan kesunyian dan duka
menyiraminya dengan renjisan tawa
juga kata-kata punjangga

ladang ini tiada pagar pemisah
berkunjunglah.

Kota Kinabalu,
1995.



CITRA SEPI KEPADA MASNI


kesepian meriakkan kenangan
kian sebati menelusuri lorong-lorong hayat
tak bisa lagi berhenti
kerana kesetiaan telah mulai rontok
berguguran seperti daun-daun musim kering
kini menanti tunas kembali
menghijau taman perkasihan

hendak kucapai makna kenangan
di situ buah rindu bertunas
adakah jawapan pada harapan?
atau aku yang memaknakannya
tanpa kudengar lafaz
harum bunga jawapan semerbak di halaman
perkasihan

hendak kuungkai citra kesetiaan kini
harapan mulai berbungkah
dijujung akar kejujuran dan tulus
lafaz ini  dibenarkan oleh hati
yang hadir pasti
tiada bezanya
kebenaranku kulafaz jua pada hati

inilah citra membuai kesepianku
ku didekati pilu
menyaksikan babak-babak mimpi
melakonkan peribadiku
di atas pentas pengadilan
kebenaranku
memintal betapa ampuhnya kepercayaan
hadir.

Petagas, KK.
16/3/95



MENYAMBUT LAMBAIAN KAMI DATANG
...seperti kata ayah


Bertandang menyerahkan iman yang dijanjikan
bertahun memuji-Mu
di rumah suci
bertamu seluruhnya mengakrabkan batinmurni
berihram  tanpa duga darjat siapa insani
berjamaah walau tak semua sama
tapi ihsan dan kepercayaan
berkampung kerana hanya satu cinta
impian berabad mengagungkan pencipta

Dari lambaian kaabah
penjuru dunia memuntahkan umat Muhammad
islam mereka tak mencermin bangsa
kulit atau bahasa
batin mereka bergerak senada menjaharkan
talbiah
fasih segerak gagah nada
khusyuk melaungkan ketaatan, melaungkan kebesaran
melaungkan kebenaran
di sinilah perteduhan utuh
ukhuwah yang diakarumbikan oleh  suluh islam

Berabad kita mengenal dan mengenang ibrahim
berabad kita mengenal dan mengenang ismail
berabad kita mengenal dan mengenang hajar
berabad fajar penghayatan qorban memancar
dalam korpus iman di sini, di rumah-Mu
antara kasih insani dan kasih Kekasih
mereka mengagungkan keKekasihan-Mu
ummah yang sedia menghamparkan kasihnya
kerana Allah
qorban kerana Allah
membina martabat insan muslim kerana Allah!

Menyambut lambaian kami datang
dari seluruh kalbu yang rindu
kami bertandang mencapai redha bagaimana janji-Mu
datang melaungkan kebesaran
bertamu mengakrabkan keukhuwahan
ummat seluruh buana
berkumpul menyimpul cita cinta junjungan
cita cinta ketaatan
cita cinta kebesaran
cita cinta kebenaran!


Petagas, Kota Kinabalu.
Hijrah 1413


MENGAWET KEBEBASAN

jejak-jejak di tepi awan
menanggalkan jebak

melanggar ribut
yang menumpang di bawah awan
awan hitam

tanpa kabut
yang haus dilerak angin sesak

di barat
yang menampung guntur
kemilau kilat
menampar jejak-jejak yang terasak

ufuk merah berbalam
balam
awan-awan bertebaran
ke dalam jejak-jejak sawan.

Seri Lembah,
Bukit Padang, Kota Kinabalu,
1988.



KERIKIL


Gunung-Mu berpecah-pecah
jadi kerikil yang lembut
gerimis terlepas

dari langit kudengar sinar membisiki
selepas wajahku tersipu
dari balik tabir diri

kerikil memautku
kembara menarik seluruh kalbu
kembali mulai
      tanpa segala.


Rumah Persekutuan,
Kota Kinabalu,
1988.



SETELAH KINI
- dengan terima kasihku buat September

kemanusiaan mengangkat september ini
ke atas sejadah, wangi
doa-doa ranum dieram azam
emaskan kedewasaan
membunga kewarasan
berbuah kebenaran:
    bulan masih di hati
    matahari masih di kepala!

Setelah kini
gempa darah dibebat
angkara dibasuh masa
kealpaan sembunyi di perdu bunga pagi
mekar sedar bersandar
daulat rakyat menobatkan yakin
setelah yakin itu dibajui akal
kecintaan tegap pada leluhurnya
warga-warga teguh di belakang jujurnya
api segera dilerak
pelangi mesra dicumbu awan
langit rupawan

setelah kini
sepetember kembara seusia remaja
kita seperti tercabar
menghantar pandang sabar
menggetarkan kebenaran hati bersatu
di reriak yang koyak
setelah tanggungjawab bersandar
usia ini bergerak segunung rela
menyemarak setanggi
wangi hati pertiwi.

Kota Kinabalu,
1988.




DEMI SUBUR BUMI

  demi subur bumi
kandil itulah membar peri
  undangan membungkus maknawi
lembah dan gunung
  sungai
ada muara penemu cekal
  umbikan pedoman
sederap lengkap langkah ditunjang

  demi subur bumi
persaksikan rimba ilmu hamba
  di puncak tahajud
perca sukmawi berpaut
  tanpa jalur rasian
tanpa jalur pemudah terka

  demi subur bumi
peka-Mu menggamit pekaku
  pangku irama poon-pohon bambu
berteduh di bawah eka-Mu, tak mudah lesu
  bumi
langit dan cekerawal berpaut
  mengulum makna, menderai kalut.

Rumah Persekutuan,
Kota Kinabalu.
6/11/1987.




16 SEPTEMBER YANG KUKENANG
( terima kasih untuk pemimpin atas
 kemerdekaan ini )

ini waktu bermaknanya sebuah sejarah
  september memancang tiang tabah
tanpa sempadan, ini waktunya
  tanah air ini mengembalikan tuahnya
seperti mula
  bermula dari wajah-wajah kurnia
seperti jatuh dan bangunku
  belia bernusa
seperti jatuh dan bangun bangsaku
  penentang penjajah
tanpa menafikan kesejahteraan ini
  ini waktunya
membayar kembali dengan setia rela
  penghormatan gemilang pahlawan
walau tanpa nama
  mereka yang masih bernafas
menancapkan sanjungan selepas kehilangan
  inilah waktunya, september yang kukenang
menerawang padang pandangan
  benih nusa kusemai
melabuhkan teguh tiang azam
  semangat kecintaan kubelai.



Kota Kinabalu,
16 September 1987.





DI BULI SIM-SIM
-   dedikasi buat arwah Paduka Mat Salleh

jika pasti,
       kunjungan ini bukan maknanya
     kutentang kebenaran,
aku membawa kebenaranku
atas hak sebuah warga
setelah kaliah ingkari
perasaan
kecuali takut yang sombong
dan gentar yang angkuh.

(kepada Creagh)
tiada pertemuan
kendati untuk sekali atau seketika
berkata-kata
     membuang keanguhan
        bangsa gua yang rakus
hanya sebab wasangka
hendak kukopek kebenaran
terbuku ini
dan nyatkan senyaring suara
perkasa: MAT SALLEH MASIH BENAR!

2.
jika pasti
     bumi ini pohon yang reput
boleh aku hancurkan
dedal yang melata di celah-celah
dahannya
malangnya ada ranting patah
patah bertunas semula
bermesra
      bersekutu
searah menggerak hidup

3.
aku berdiri di sini
aku bagi ketemu bayang Paduka
     mahu kutuntut kebenarannya
     mahu keselak keteguhan sifatnya
     mahu kupetih seranting jiwa perkasa
aku berdiri di buli ini
hingga sore
membawa kembali ke rumah akalku
pundak batinku terkinja
terentap seribu cari
di siikah yang ada jejak-jejak
tertanggal segala celaka?

sudah pasti!
kunjungan di buli ini
mencari makna kunjunganmu seabad dulu
mengorak damai
di bawah damai
di bawah arus gelora sangka.



Buli Sim-sim,
Sandakan,
28/1/1988.



SETIA


kata ini tak mudah sudah
menggarisi sempadan berserah

jika berasa terpaksa dijerkah
bukas mesra mengikhlaskan wajah

antara memberi dan menerima
tak perlu memilih di antara keduanya

amanusia berakal gigih menelaah batin
manusia berilmu tak jemu menyerlah prihatin

demikian kata disulam
demi agung negara
   padu bangsa
      utuh setia

jika berasa perlu dikerah
ini kurnia dari watan bumi merdeka!



Rumah Persekutuan,
Kota Kinabalu,
Mac 1988.




TATKALA DATANG MUSIM SENJA
- Kepada Nenek

Warna yang kian kabur
merapatimu kepada ujian Tuhan
menyebati takwa
intim memeluk takluk-Nya

2.
Sabar berakar mengangkat usai usia
daripada rentetan peristiwa
tikar kenangan yang terdampar
menanti  gulungnya
menyeka gelora gelombang kehidupan
yang kini terpaksa dihidupkan semula
apabila sekian ketika membangunkan keluarga
sebahagianya telah ditelan arus masa

3.
Musim senja sekarang
ada yang dilupakan dan melupakan ungguljasa
membiarkan kehidupan tua itu
di dalam kamar tanpa pintu
namun kasih tetap tak tersisih
dari utuhsuci renjis perkasihan sejati
baginya hari tua adalah ikatan yang tersimpul
menjalar seminya ke seluruh nurani
dengan seutuh rela diberi

4.
Senja yang menjengukmu
adalah isyarat yang memaknakan usia
akan keberangkatan
simpulan takwa, iman dan kebaktian
mempertaruh duka dan sunyi
meninggalkan musim demi musim
yang dilihat diri
merungkai janji-janji Ilahi.

Beaufort, Sabah.
1993.


AKU PENYAIR


Tidak aku sebagai penyair
jika tidak kerana sajak
tidak aku membaca sajak
jika tidak kerana merak
tidak aku melepasi merak
jika tidak kerana sepi.

Aku tak bergelar penyair semata-mata kerana sajak
tiada hebatku menyusun kata-kata Jebat
tiada Jebat yang mendada
kecuali kubunuh suasana ria
kukumpul semula purba
kehimpun semula makna citra sengketa

Penyair bukan bung segar pagi
bukan basah embun dini
bukan kering mentari
bukan dingin bulan
bukan rontok daunan
penyair adalah pohonan rimbun
adalah akar yang menunjang
adalah tanah yang menjalarkan akar
adalah siang yang menggilap gelap
adalah tukang canang yang tak pernah berharap-harap.

Bukan aku diomongkan penyait
jika tidak kerana aku degil
terpanggil tidak kerana aku muridnya
mengalirkan darah di seluruh indera.


Kota Kinahalu.
1994

Berita Minggu,
16 Januari 1994.


PENGALAMAN CERMIN KEHIDUPAN


Cermin pengalaman tak pernah padam
membayangkan nikmat alam,
adalah pancaran akal
sentiasa menebarkan pedoman,
adalah cerminan tanggungjawab
memandu hala lurus perjalanan
khalifah menyeru tuntutan kebenaran -
mendukung umat manusia berhemah
menatang benih takwa rela dan pasrah
menenun martabat ummah memakainya
sebagai sirah
sehingga berbaja teguh
waja salih dan beriman
mengenal tanda-tanda insan
mengenal tanda-tanda keagungan
Ar-rahim dan Ar-rahman.

(2)
Langkah yang dihayun mengendara usia
memulihara nilai maknawi hidup yang sementara
memanjangkan hala pengetahuan ini ke pundak ilmu insani,
insan kamil yang mendambakan kehidupan
yang maha maknanya membangunkan hati nurani
menghulur kasih dan dibenam dalam batini,
inilah kesyukuran menggumamkan kemurnian
bahasa asli dalam diri yang paling bererti
seribu satu keagungan yang tak hilang
kental terpupuk dalam kalbu keyakinan
mengendarakan kewajipan dipertanggungjawabkan
membina ukuwwah ummah
membina martabat setinggi angkasa
menelusuri minda di pangkal takwa.

(3)
Pengalaman adalah cermin ilmu
yang disemai di ladang kehidupan
adalah cermin ilmu kehidupan
yang tak lekang dimamah zaman
adalah cermin ilmu
yang menghidupkan denyut
nafas syukur
hikmah dan nikmah dari Tuhan
Allah, Yang Maha Pengasih
Allah, Yang Maha Penyayang...

Kota Kinabalu,
1995.

ANUGERAH


Khusyuk dalam sunyi
membangunkan keinsafan
sebati menelusuri lorong-lorong hayat
yang tak alah oleh dugaan
menyimpul tali anugerah akibat taat,
keinsafan menghayatkan pengabdian
tak pernah rontok
seperti daun-daun musim kering,
pengabdian cinta sentiasa bertunas
menghijau
dan mewangikan taman perkasihan.

Tatkala kumelangkah ke hala taman rindu
kucapai makna wangi keagungan-Mu
adakah jawapan pada harapan?
Ya, Allah
kuungkai citra anugerah kesetiaan ini
menunjang akar ketulusan dan ikhlas
tayyib dan maaruf
lewat lafaz padu pada niat suci
yang hadir pasti,

Ya, Allah, hayatkan minda untuk mensyukuri
nikmat dan rahmat-Mu selalu
menjelaskan jahar suaraku melafaz kalam-Mu
Al-Quran kujunjung menyuluh liku kelanaku,
membawa kebenaran dan berpegang teguh
jalan kebaikan
menjauhi jalan kemungkaran,
inilah citra membawaku selaku insan perindu
menyaksikan babak-babak hayat
mengenali erti rububiyat
kehidupan semesta susunan Allah
menganugerahkan rahmat
menganugerahkan hidayat...



Kota Kinabalu,1995.



DI SUATU PERHENTIAN LAIN


Kududuk kaku menghadap
Di atas kesucian derap dalam senyap
Kembaraku menjauh ke alam khusyuk
Kuterpaku dalam alam syahdu
Lembut memaut Pengasih
Merasai nikmat akbar
Sabar menakluk debar;
Kujunjung alam akar akal
Melebari titian tatkala mengusap bayangan hisab
Kuraikan perhentian ini
Memuji akbar
Kutitip kembali segala rugi menghitung usia:
Alangkah kecilnya bekal yang ada!

Tercermin di mata bayangan seksa
tatkala kuhimpun berkas-berkas alpa
Sekarang kulewati kamar bertakhtakan ungkapan
Wasilah kebenaran
Kujunjung Pengasih
Dalam pedoman warisan abadi
Di perdu kalbu yang kusucikan.



Rumah Persekutuan,
Kota Kinabalu.


Daily Express
3 Ogos 1985



SUNGAI PADAS - Catatan Kehidupan

(i)
alurmu
menuju arah yang panjang
deras
tenangmu melewati batu-batu
dan liku-liku kejadian
tidak berkesudahan

(ii)
derasmu
adalah duka dan keriaan
tenangmu
adalah sepi dan mistri
walang
merindui pantai
mencumbu teluk
dan desir ombak laut

(iii)
di sini
ada nyanyian hidup
yang pengharapkan
pengalaman.

Tenom-Beaufort

Daily Express
4 Ogos 1984


SALAM BUAT KEKASIH
:dengan nama Allah
yang Maha Pengasih
yang Maha Penyayang...


Aku berada di dalam himpunan debu
tanpa sedar ini dari beberapa perjalanan

Hari ke hari kerap dilenyapi waktu
tiba di tasik sedar membersihi diri
dan akal, lalu berjalan lagi
pintu ke pintu waktu dipameri wajah
menggaru rasa mendesak teguhnya iman
tiba-tiba menyentuh hanyir debu
pada suatu perhentian malam

Gusarku mencipta ingatan pada
Illahir-rabbi
pada perhentian inisedarku menyusur lembut
seperti sutera
bertakarub di  menara ini
di suatu rumah-Nya yang menyimbah cinta
keintiman al-quddus
sedarku mengintai sentiasa
debu-debu yang hinggap tiada sedar
lalu menjunjung istigfar di sepi malam
berkata pada hari yang bersih
melontar kasih rindu yang syahdu
al-'aliyyu di pundak khusyuk

Maha Suci Tuhan
al-'afuwwu wal-ghaffar
restuilah tabubat seorang hamba
yang menambat cita dan cinta
dalam baju Nur-Mu
dari qada'-Mu di setiap pintu kembara
pinta kasih ketika pergi abadi
bersama kekal cahaya yang tak pudar
seperti restu-Mu kepada para Syiddikin
dan para Syuhada...


Sembulan,
Kota Kinabalu.

Daily Express
17 Julai 1985

SKETSA PERPINDAHAN (3)
- Balasungkawa atas pemergian
allahyarham A.Bolly Asmara

Al-Fatihah...

i)
Seperti kebiasaan bagi suatu hari
subuh ke senja itu
ada usia
merangkak dan pergi
tidak kembali lagi
betapa cepatnya putaran itu
tiada siapa akan menolak
putaran itu pasti berputar ligat
semakin pantas mengarus deras
lalu mengingatkan kita
suatu perpindahan
yang tidak berpindah lagi!

ii)
Seorang penyair itu
akan bercanda di kepekaan hati dan rasa
kehilangan menambatkan duka
yang menyedarkan
memberi isyarat yang maha berkat
bersama sepi menyusun ungkapan-ungkapan
khusyuk meneroka akal
lewat puisi-puisi mengira kebenaran

seorang penyair
ku tak kenal wajah
kecuali kata-kata ditafsirkan
sebalik langsir kehidupan
bicara kita
membimbit pedoman hari-hari depan
hingga sampai di suatu hari
sergahanmu bertunas pada panca indera
seorang hasyuda
tentang ruang yang terlalu sementara,
siapakah kita nanti
bila berada di kemuncak mati?

iii)
Seorang penyair itu
perpindahanmu meninggalkan azimat
kata-kata yang tercatat
lewat pancaran inderamu yang suci
kusambut sebagai pewaris zaman
memerangi arus perubahan
yang padu meneronbos goncang
tangan kananku memetik purnamamu
tangan kiriku menggenggam mataharimu

biar perpindahan itu nanti
menjadi potret patriotik sejati
di dada watan
mengembalikan peribadi
nan murni
nan suci...

Sembulan.

Daily Espress,
17 Ogos 1985


SUARA ORANG BUKIT
- tragedi 13 mac


rumah ini
jadi benteng yang rapuh
suara-suara lantang
mengampu keperibadian
menjulang anugerah

aku adalah wargakerdil
yang sering menjerit dari bukit
ke dada angkara
pernahkah raja-raja kota itu
menyambut resahgundah
yang menggocang belantara
lalu
biarkan saja bumi ini terbakar
dan debunya diangkat
jadikan azimat
anak-anak bukit keramat!


Sembulan.

Daily Express,
25 Jun 1986.


HIPOTESIS


barangkali tidak juga hanya nama
ilmu beradu di atas ini
tidak juga hanya berkata,
berkata merangsang hari berjalan
tanpa kakinya tapi dengan harinya sendiri,
sendiri juga tidak hanya dirimu
tanpa semantik untuk merisik
genta ayu menggema pencaran wajah,
wajah tanpa muka
dengan sempatik melagukan lirik,
lirikpun mencari percaya
meski rangkaikata-rangkaikata
tidak bermuka-muka
raut wajah dan mata berlidahkan nabi
inilah ilmu
jelmaan dunia abadi


Kota Kinabalu,
17 November 1988

Daily Express,
19 Februari 1989


PERSETIAAN


Obrolan senyap itu tiba di tengah-tengah
simpulan persetiaan mabuk
mengumpul segala mahu dan nafsu
membuai mimpi-mimpi lama dan mengharap
nyatanya

Itu jahitan persetiaan palsu
yang pergi
selepas mencatatkan lukamu di buku kiri

Nista memamah nafas
terlunta dalam rumah nafsu yang membahang.


Kota Kinabalu,
17 Januari 1989

Borneo Mail,
23 Mac 1989
UCAPMU SEKILAI CERMIN
(buat Jamdin Buyong)


Dari kilau cermin-Nya jua
sejah jauh ketemu bahana cinta

Terpancar di hadapan gerak
seru di hujung lafaz

Demikian kerap ucapmu
menatang suci harap
sejak jauh dulu
mengenal bahasa dan aroma
menjalar cipta
cermin tingkah mendera
adalah wadah mengurai kelu di pintu,
manusiamu mencapai hormat
tergenggam matangmu

Kami menitip kilau cerminmu
kilau cabar insaf yang senyap, senyap
memekar tunas hijau
tiada luruh selagi berdasar cinta
tanpa menduga punca gerak dan lafaz
atas himpunan Kehendak
yang berarus menjalar
mengendara hayat.


Kota Kinabalu.

Daily Express,
20 April 1989.


MERASA JAUH


Anda bajui panas yang tiada
akhirnya, menjadi benih yang membuka
seluruh ucap dan laku, mendekatkan alpa
dan mendampingi rugi; Anda merasa jauh
dari segala cuba, jauh dari segala rasa
akumu, akurnya hanya puji-pujian terhadap
kefanaan dunia dan membiarkan usia
direnggut celaka, merelai dosa-dosa
menyelubungi macapada; Anda kosongkan
kalbu yang kelabu, hitam pandang dalam
nyata hitam, khusyuk merejam akumu yang
lupa...



Petagas,
Kota KInabalu.

Borneo Mail,
18 Jun 1989.


PERSALAMAN



Persalaman ini tidak bermakna
tanpa jari-jemari yang mesra
kita harus jujur menentukan sempadan-
sempadannya

Kejujuran, di manakah letaknya?

Apimu sudah membakar hak
dan hak tidak berdiri di mata jujur
apa gunanya persalaman yang kabur
tangan kanan harus menggenggam kiri
kiri hendaknya menggengam tangan kanan
kiranya ini yang semesranya

Adakah kejujuran?

Kini akal kerap tidak berkakikan
pada jalannya
para oportunis melagakan kebenaran
berdiri mendabik dada
membiduk lagak konon pamer perjuangan
harga diri, maruah
dibiar hanyut dimamah arus

Persalaman kini kian hambar
di mata pertimbangan sempadanan mesra
anak-anak esok terhulur oleh jujur
yang belum tentu kukuh asasnya

Tunggulah!


Petagas,
Kota Kinabalu.
29 Mei 1989

Daily Express,
30 Julai 1989

RAYUAN HARI PAHLAWAN
(pahlawan sejati dalam hatinya bernyanyi
tanah air dan bangsa di mana berpaut cinta
mulia untukmu darah ini mengalir
padanya jasad ini cair...)


Ada impian yang digalang
dari bahang yang nyalang
nyala di hati
mengalir pada seluruh saraf
memetoskan martabat wira negara
menebus kebebasan brpanjangan
memenarakannya, kekal dan abadi
   di sini
   di bumi ini

Lahir selepas tersambut seruan
dan kental keberanian
mara meletakkan kesetiaan
meladangkan bakti
membenihkan jasa dan jaya esok hari;
walaupun dalam segala cabaran terperi
ia tidak tergugah oleh api
sedia menanti
kerana mati atau kemenangan ini
      semua pada dacing Ilahi

Dialah benteng pertahanan hadapan
siapakah yang tidak kenal mereka
bersama ketabahan, keberanian dan impian
memberi taguh kemakmuran
mencipta sejarah keagungan kemanusiaan
untuk negara, bangsanya
rakyat, semangat perkasanya

Hari ini
dia dikenang
berada di dalam rengkok persaraan
atau derita mendera kehidupan;
mengenang jasabakti
masa belia yang berlalu dahulu
cekap dan gagah kini layu
tidak pantas memintas laku

Lihatlah pada balu yang sepi
atau piatu anak-anak dahagakan kasih
menjejak jasa ayah atau suami
namun kecil terlalu peluang diberi
kaya dengan bakti, mereka miskin
menyambung sisa uisa
menembusi lorong-lorong sengsara
di bumi merdeka

Inilah hari, masanya kita cucuri belaskasih
inilah hari, masanya kita anugerahi pertimbangan
selepas kemenangan untuk kemenangan baru
mengunci seluruh sengsara,
menutup pintu derita
bagi pakcik atau abang pesara muda
bagi makcik atau adik-adik
mengimpikan dunia fantasia
mulia milik kita bersama

Marilah hulurkan kasih
mari hulurkan budi -
tiada intan penebus bakti
tiada sanjungan melainkan budi
mari kita bina rumah Malaysia ini
dengan kasih sayang
mengirim api perwira pada pahlawan
medan hadapan
aur dan tebing kita kukuhkan terasnya
membina maruah bangsa
berat sama-sama disandar
ringan sama-sama dijinjing...


Petagas,
Kota Kinabalu
31 Julai 1989

Daily Express,
3 September 1989

DONGENG KERUSI

Berkatalah kerusi suatu hari kepada pendamping politik:
"aku ibarat berada di pasar lelong
ada tawar menawar
ada juga harga
ada juga popular
di media
di restoran
di rumah
di dalam pagar resah"

Berkatalah  kerusi suatu hari kepada para pengunjung:
"kalian berkunjung di dewan-dewan
memastikan aku dimenangi
mendabik dada di atas kejituanku
berwajah ceria
tapi belum terjamin jujur"

Berkatalah kerusi kepada beberapa buah kerusi:
"kita sama saja
apabila berada di tempat yang terpaksa
dihitung oleh pangkah-pangkah
namun tegak kita, kawan-kawan
kerana kita berharga
harga pasti
harga diri"

Beberapa orang yang tekun mendengar
perbualan tadi berbisik-bisik:
kenapa kerusi mereka bernilai jutaan
alangkah baiknya kerusi-kerusi di rumah kita
bernilai demikian,
beberapa hari kemudian kerusi-kerusi
yang diperbualkan saban waktu dan detik itu
dimatikan
oleh dongeng-dongeng pemilihan
yang tidak pernah kunjung berakhir
di bibir media
di bibir manusia
di bibir kuasa
di bibir bibir...!


Kota Kinabalu,
1994.

Daily Express,
22 Januari 1995
SEGUGUS KASIH RAMADHAN

Ketika berkelana
mengharungi segala yang dipinta
dan meninggalkan apa yang ditegah
oleh Tuhan
tiada yang indah selain berkata:

Ya, Tuhan dekatilah diri kami di sisi-Mu
kerap dan selalu
tersipi dari alpa mengenang-Mu
menuai amal
dan menyalurkan arus doa,
jadikan kami hamba-hamba-Mu yang saleh
dan salehah

Ramadhan ini
menjanjikan rahmah-Nya
malam-malam hening dan dingin
adalah warung menghirup santapan rohaniah
waktu siang
wadah mengengkang sejarah manusia
tabah menghadapi duga

Inilah hamba barakah yang kita ingin diami
selamanya
bersama segugus rasa kasih manusia kerdil
terpencil menganyam kehidupan seadanya
setiap saat
menyatakan syukur pada yang Esa.


Kota Kinabalu,
5 Ramadhan 1415.

Daily Express,
19 Februari 1995.




MENJARING RINDU

i)
Sekian lama kumeraba-raba memburu rindu
Mengembara ke seluruh pelusuk ceruk rimba  kalbu

  Apakah yang kucari
  jika bukan kasih?

        Kuhimbau kasih sejati

Tuhan, jaringan kasih-Mu basah
lembab gugur di kalbuku
dingin tapi hangat menderu

ii)
Suatu hari kududuk runduk
duduk tunduk menyampaikan lafaz rindu
lewat sungai doa yang kualirkan
ketika solat
di atas sejadah
sumur itu qiam dalam diam
tahajjud yang kubangunkan mencari redha-Mu
ketika kutadah kedua tangan
di situ mencerminkan syahdu

        Adakah tempatku?
iii)
Sungguh aku tersilau oleh kilau pancaroba
dunia ini fana
mengapa curiga ketika kugerakkan rasa
mendepani goda dan aneka warna?

Sungguh aku tersentuh
ini waktuku mendalami perjalanan
singgah di pelabuhan
membangkitkan takbir dalam zikir
membangunkan tasbih dalam zikir
menghidupkan tahmid dalam zikir
dalam zikir rindu semakin zahir

iv)
Tuhan, hayatkan minda untuk mensyukuri nikmat-Mu
suaraku menyanyikan lagu kalam-Mu
Al-Quran kujunjung menyuluh liku jalanku
dengarkah
atau Kau terimakah ibadahku ini
atau nanti?

v)
Inilah rindu
akan kukhabarkan  selalu



Kota Kinabalu,
13 Ramadhan 1415





GELOMBANG BARA


Apa yang kuimpi dari duri yang kujejaki
ialah  gelombang-gelombang bara:

Kemurnian
pasti kubentangkan
tiang setia
pasti kutegakkan
walau  mungkin laut itu tak bertepi
kutelusuri jua
  jika tak penghujung kucari pangkalnya
  jika tak berjawab kucari tandatanyanya,
gelombang ini bara
biar membara semangat di dada!

Gelombang resah mengasuh tabah
menceriakan makna penantian senja
  jika mindaku dihanyutkan
  kusangkutkan semula di pangkalan hayat
kembara ini bermula dari rimba ke rimba
berbau syurga
yang melingkari hari-hari depan
tak kira gelombang duri
diharungi seampuh tabah diri

Laut kasih membiru sebenarnya
di dalam kalbuku
di dalam kalbuku membara
gelombang bara
menghimbau citra senja

Siapakah yang tahu?



Kota Kinabalu.
1995.


SENYAP PENGUNJUNG TAMAN


Siapakah yang berdiri di depan pintu
kalbuku
jika bukan bayangan rindu
sering menyapa dan memburu
melayangkan sayap senyap
kusambut dengan sentuhan harap

Goyah langkahku
anpa  siulan kudengar dari pohon kebenaran
pandang hayatku menjengah
lewat kilau yang belum sempat
kumengertikan makna yang tersirat

Di manakah ceriaku
di saat ketukan tidak kedengaran?
Di mata panahmu
sebentar saja membolosi
senyapnya sunyi
tanpa kusedari darah biru memercik
membuak laksana gelombang lautan
menggulung citra kebenaran
yang ingin aku tegakkan

Kujengah berkali-kali
lewat jendela
kiranya ada kunjungan
selain sunyi.


Kota Kinabalu.
1995.



CITRA BUAH RINDU
- untuk Mas

Kita lewati kebun-kebun usia
yang belum tertuai

kerana kita hanyalah si pengembara
yang menumpang lalu sementara lelah

belum
terurai.

Kulihat ranum buahan rindu itu
mengharum taman

lebat
dan kental

kupu-kupu sesekali mencumbu
membisik asyik

tanpa suara
tanpa mencapai usai keliruku

yang memburu waktu-waktuku
menyemai benih rindu.




Kota Kinabalu,
1995.



KETIKA MEMANDANG BULAN
    AKU DI JENDELA RINDU

Membuka pintu keliru di dalam kalbu
hanya kuperolehi rindu.
Asyik mencorak warna laut biru
     gelora lautku
     tak dapat kudakap
     sungguh utuh memerangkap.

Arah pandang berliku-liku
sewaktu hinggap di pohon rhu
terurai mega kelabu jadi biru.
      Rupanya kenangan
      yang kuanyam
      mencelekkan buta saujana
      menyapa camar berkelana
      dalam rimba syurga.

Bulan mengambang di hati
menggelombangkan darah
menyusuri akar kembara
     di ufuk citra.

Bayu mengucup sari bicara
gurau senda
ditimang mendodoi maknanya.



Kota Kinabalu
1995






EMOSI MERONTA



kuhampiri nyeri yang menyeramkan
ketika masuk bertandang ke dalam
alam kayangan
emosi mengajak kumeronta
tatkala kelam malam
di penjara lara
sepi menolak ke pinggir
memandang jendela dan langit jingga

adakah kau
terbang di sisi kunang-kunang
merentasi kelam malam
sesekali terdengar ungkap
kau berlari-lari di tengah pengap
jelaga apakah
  cuba disembunyi?
     mungkinkah aku
     yang tiba-tiba berkelana
         di rimba citra?

belayar dalam alun muzik
yang berbisik sewaktu terurai rasa
putaran ingin melingkari musim bercitra
   melerai mabuk
   yang kudiamkan
      melerai mabuk
      yang kudiamkan
         melerai mabuk
         yang kudiamkan...



Kota Kinabalu,
1995.



GELORA LAUT KALBUKU


seperti ingin kujangkau
saujana lamunan
menyambung semula warna
hijau yang kutinggalkan
daripada kelopak daun hari
kulepaskan ketika terasa tercuba
untuk turut melangkah
seperti sekarang

aku sedang berhadapan
dengan penjaga taman bunga
halaman wangian
di situlah duri berliku
memenjara nafsu
menghadang langkahtua yang
kembali kugerakkan tanpa silu

sekarang kupetik bunga
warna putih berduri tapi mesra
ketika luka hariku berpindah
kepada minda
berdarah tanpa warna darah
bersinar memancar arah

di situ mindaku diburu
dan berlari
meluru seluruh penjuru
     laut biru
     laut kalbuku
yang mulai bergelora gemuruh.



Tawau,
1995




SAAT YANG PENGHABISAN INI (ii)
- mengenang Tun Mustapha

Saat itupun menjelma
dulu disulam babak hayat bersama rakyat

api membara melonjakkan jiwa perkasa
sekarang jiwa bersatu

dalam kolam hayat negerimu
menokah arus seru,

seru itu lain
di sinilah bermula cinta bertakhta

sesama kita insan tanpa perkasa
lemah di bawah keperkasaan Kuasa-Nya

lidah kita tidak petah
lemah di bawah kepetahan Suara-Nya

(air kolammu beriak-riak saat ini
semakin jauh bertemu tetapi terpisah)

Saat-saat yang penghabisan ini
melantun santun

tapi itu semata-mata sementara
kiranya berbeza citra rasa

begitu di bahu tersandar wibawa
anda negarawan bangsa menjejak merdeka

kami negarawan bangsa menjejak kebenaran
kemerdekaan itu

Inilah saatnya kehilangan mendekatkan maknanya
yang betul dan benar

hilangkah sangsi hampirkan segala jasa
nanti generasi mencarimu

dalam wajah yang tiada
tapi bersama-sama jiwa perkasa

saat anda mendapangkan pengorbanan
untuk bangsa

warga negerimu milik mereka.


Kota Kinabalu,
1995.



SAAT YANG PENGHABISAN INI

(i)
Sampai detiknya yang penghabisan ini
telah didekatinya kebosanan yang meriuhkan
anak-anak pulau,

sekujur tubuh yang layu dan susut
memercikkan bekas-bekas sejarah diri
seluruh rantau

duri menusuk ke ulu hari tuanya
dalam rajuk yang tak berkesudahan

Pertapaan usia seharusnya dibela dan dibelai
disanjung warga yang cinta dan mengasihi
sekarang segala nanah dan ludah

yang dihambur
dijilat, dipungut kerana dera
kerana tersepit kononnya anak pulau ini terjajah

tapi siapakah yang mencari dosa
siapakah yang memulakan angkara
siapakah yang mencanang sengketa?

Duniamu dunia sasau
alpa mendukung, di sekeliling adalah topeng-topeng
yang menyanjung seorang pahlawan bangsa

tatkala tersepit
di manakah letaknya maruah
bapak di mata anak-anak

yang pernah kejap percaya dan setia mereka?

(ii)
Saat-saat yang penghabisan ini  kau jatuh
di tangan kebendaan

saat-saat yang penghabisan ini kau jatuh
di tangan kebendaan dan ketololan

saat-saat yang penghabisan ini kau jatuh
di tangan kebendaan dan ketololan, di gawang rasa
kebencian

saat-saat yang penghabisan ini kau jatuh
di tangan kebendaan dan ketololan, di gawang rasa
kebencian di dalam  kekuatan anak-anak yang
kautinggalkan!



Kota Kinabalu, Sabah.
Februari,1994.


MERINDA KEBENARAN,
    MENGANYAM KEJUJURAN


Pekikan yang kulaungkan ini tak bersambut
tidak seperti talun batu-batu di hadapan
bergema menyegarkan lamunan
aku terlena di bawah bumbung penantian

Aku hanya ingin merinda kebenaran
harga diri dan kepercayaan
ini semua kusemai di kebun persahabatan
yang kubuka luas
setelah pernah kita ingin ungkaikan
ketika kuucapkan persaudaraan

Aku hanya ingin menganyam kejujuran
lafaz dan perbuatan
sebagai insan yang berjalan di jalan kesementaraan
aku dibayangi maaf yang belum terucap
dan maaf yang belum dileraikan

Barangkali sirna keakuanku
dulu kutegakkan kerana menagih rindu
yang kau hampar tanpa kusedar.


Kota Kinabalu.
1995.



CAHAYA

Ini yang kuidamkan
menyuluh diriku
menyuluh seluruh arah
liku langkah dan fikir akalku


Kota Kinabalu,
1995.




BUTA

tak pernah kufikirkan tentang buta
selain mata yang tidak dapat melihat

rupa-rupanya buta kebenaran
lebih kelam

kerana tidak dapat melihat di dalamnya
begitu juga buta keyakinan

lebih gelap
kerana tidak memandang sejahtera di dalamnya



Kota Kinabalu.
1995




BERADA DI LUAR RUMAH DIRI


Aku melihat gelagat dan sifat
namun tak mampu menghayat
sempurnaku tak menjangkau  hakikat
keagungan-Nya

Langkah dan gerakarahku
kadang-kadang goyah
kurasai kembangan cirtarasanya
menguntum di celah duri-duri mawar
di kamar itu kurasakan segalanya
resah, gundah dan bercita-cita
ceria dan mendamba

Aku kembali kepada mindaku
meriakkan  tenang sebuah kolam kehidupan
kujangkau garis-garis itu
namun tak bisa
selain melukis riak-riak baru
kolam hidup ini beraroma dan berwarna
jernih dan sesekali dikabutkan
oleh keheningan dan rasa kebosanan

Di wajahku inilah citra diri
yang belum usai
sering dihimpun sendu
laut rindu
bergelora gemuruh.



Kota Kinabalu,
1995.




BUKAN SELESAI DI SINI
- kepada Sakaran

Berakhir tidak bermakna selesai
sewaktu kami menuai
makna putih awan dan emas saujana jasamu
di halaman taman makmur

anak-anak bertingkah masih mengapungkan
awan putih
berarak di bawah rimbun pohon baktu
merinda mekar daun-daun sempurna

pedomanmu payung daunan hijau
menggamit akar aklimu

Berakhir bermakna belum bernoktah
kita duduk dan berdiri bersama-sama tanpa tara
mengadun warga berbangsa dalam acuan sempurna
melihat jauh ke hadapan hamparan harapan

ialah warna kata -
   . pada mata ketika anda melihatnya
   . pada telinga ketika anda mendengarnya
   . pada lidah ketika anda melafazkannya
sungguh di situ ada diri berdiri dalam diri
andalah yang bertandang menyerahkan obor bakti

Berakhir bermakna usai tetapi bukan selesai
kita sentiasa menduga waktu-waktu yang lewat
memadamkan api mengapungkan awan hitam
sehingga turun hujan mengalirkan biduk pertiwi
dalam tempias dan dalam geloranya
kami membuka kembali diari sejarah
yang tak mudah musnah

Ketika ini
awan berarak
menanti hujan semarak
emas batinmu, emas ceriakan gerak bangsamu.


Kota Kinabalu,
1994.

Daily Express,
8 Januari 1995.
SPEKTRUM SEMPORNA WAKTU SENJA


Senja di sini
menterjemahkan harmonis makna kedamaian
menafaskan getaran fikiran

kocak alun lautan memaut gelombang impi
sebagai rakyat menghuni sebuah daerah  sepi
di tengah-tengah riak dan alur ombak
badai kesempurnaan

melerai kemelut warga, minda dan pembangunan
warnanya telah dikaburkan
santun berkubur dalam liuk lenggang para pendatang
pedagang yang tak kenal malu silu
rapat ke tepian selepas subuh

dan pulang tika senja berlabuh
tidak terasa datang dan menghilang
sebenarnya menghimpun lara yang panjang
dan telah pun berpeta
di bumi bertuah
ini
(atau sebenarnya malang?)

ii)
Selaut makna yang tersirat
membenarkan kemelut disimpulikat
dipersempit keasyikan mempersalah sesama warga
sebangsa
mengocak alpa akhirnya kini memuncak
menggelombang resah dan bimbang:
siapakah yang menang
siapakah yang malang
siapakah yang mewah
siapakah pula yang kalah
kerana beralah?

iii)
Waktu senja
sebenarnya menghimbau bau siang hari
sambil memerhati kocak air laut di sini
adakalanya mengocak ketenangan
mengombak  berjuta pertanyaan tentang bimbang
mengakhiri kemelut bangsaku
bahawa tanah air ini harus disentosai
bukan diperjaja
diulanglaung dalam tingkah pilihanraya
semata-mata!

Semporna, Sabah.
25/1/1995


LIRIK FAJAR CINTA

Kita berada di dalam keakraban cinta
menatang jihad mukmin
mengendara gelombang nafas di mayapada
meranumkan doa, meraut sujud
mencanai waspada setiap langkah usia.

Dengarkanlah saatnya takbir itu dilaungkan
lafazkankanlah takdim itu bersama keinsafan
hayatilah takdis itu tatakala niat mencapai restu
yang memasuki rongga pintu makna keAgungan-Nya
yang memancarkan cahaya
menembusi seluruh ceruk pembuluh darah
ranum nikmah di pohon kalbu yang merah
menyalakan bahang kesempurnaan kehidupan manusia
membara pasrahnya, menyerah
pada Allah...
 belayar dalam bahtera qiam
bertakarrub dalam keheningan tahajjud:
 dekatkah nyaman iman itu di sisimu
 akrabkah genta takwa itu di kalbmu?

Raung yang kedengaran tatkala merentasi samudera amal
terdengar di dalamnya pekikan cinta
di dalamnya lagi mengalir bahang kasih
di hari-hari yang tersirat berkah inilah
kita perlu menyempurnakannya
melengkapkan kesempurnaan itu
bernafas dari dalam kesempurnaan Tuhan
mendekatkan kita kepada keagungan Tuhan
kita rela runduk di bawah Quddus-Nya

Hari demi hari kita bangun meraikan ceria wajah
menikmati kesempurnaan ibadah
membangunkan ukuwwah Ummah
adalah takwa yang terjalin kerana kesempurnaan
menjalinkannya
adalah ceria yang terwajah kerana kesempurnaan
mewajahkannya
adalah kemenangan yang terbit kerana kesempurnaan
memenangkannya

Kita rumpun mahluk Tuhan yang akur
meraikan hari-hari makmur menyatakan rasa syukur
kita meraikan fajar mulia melafazkan rasa nikmah
menjalin rumpun-rumpun abid
memupuk kerukunan amanah Allah
membangunkan minda manusia bermartabat hebat
mengendara masa hadapan teguh utuh

Di pintu fajar cinta ini
menyerlah sinar syiar mentafsir makna warna
menterjemah makna abrar manusia yang patuh
menyimpul teguh takwa
membimbing peribadi dan mukmin
ke lurus hala.



Kota Kinabalu
1994




QIAM

Menyelami qiam...

Tatkala melafazkan ungkapan diam
kudasari salam khusyuk lewat rindu dendam
akrabkan sentuhan perkasihan mendalam,
kugenggam seeratnya persalaman mabuk ini
mencekalkan yakin, ceria ke pelusuk kalbi
membina kesempurnaan riwayat insani
yang sentiasa merindui haruman firdausi.

Memelihara qiam...

Laksana seorang muwahid yang syahdu
menatap khusyuknya sekerap waktu
mengharungi samudera ibadah
memintal utuh simpulan pasrah
meletakkan ria di atas takhta aulia
menjahit rapat carikbatin yang menghujam
akibat luka dalam dunia leka
dalam kesempurnaan yang sebenarnya belum sempurna,

Sentiasa kudiamkan diri tatkala berkata bersama jiwa
melamun wasilah kasih sempurna membulatkan suci
sewaktu menghadiri aman mengimani pedoman
al-Quran dan hadis Rasul Junjungan.

Mendiami qiam...

Rumah pedoman yang tersergam berzaman
di sinilah lafaz diam penambat perjalanan ilham
mengendarakan iman dipacu teguh
cekal menghadang cabar
redha berhadapan dengan qadar
menatang kembara kebal mutiara Muslim
pada pintu kalbuku
menyemarak ihsan membelai keinsanannya
di sisi-Nya, Tuhan Yang Maha Esa.


Kota Kinabalu,
1994.




SAAT YANG MENGAKRABKAN


Hari-hari putih ini mengurung insaf
memapah dera alpa ke pesisir maaf
menakluk rumah rapuh
di dakap seutuh tubuh
memanjang lafaz seluruh malam berlabuh

Saat kubelah malam dengan ratib
isak yang menghampiri
menghulur keyakinan arus menyusur
adalah saat mengakrabkan
ku didakap ketenangan
ku didakap kebahagiaan
tak putus memaut hidup saat ini!

Kalbu seharusnya padu
menatang iman, menyirat waktu
esok dan usia yang matang
siapakah yang berdiri menentu liku usia
yang dikerdutkan oleh amal
oleh kebebasan azab yang dinoktahkan,
kemudian oleh Tuhan?

Tibalah malam-malam putih lagi suci
mubarak yang menyemarak warak
rimbun pohon-pohon meneduhi pedoman
walaupun ada goda menduga keyakinan
saat ini akrab-Nya jua
terasa sasa menyambut imbauan makna
menggamit makmur takbir, tasbih dan tawakal
mengharungi samudera sesal.



Kota Kinabalu.
1995.





MENTAFSIR TANAH AIR

Sebuah tanah air yang mengalir di dadanya
darah: bukan merah, bukan putih tapi ceria!

Sebuah tanah air yang dihidupkan di dada
pusaka moyangku
di situ cicit dan cucunya membesar
  bersama gelombang dan denyut waktu
  berliku, berputar, bertebar
di situ cicit dan cucunya menyedut segar
  udara kemerdekaan
  bertahta di perdu kemenangan wira

Memenangkan sebuah hasrat globalisasi manusia
yang dimerdekakan ini adalah perjuangan
hanya kami menyata bukti kukuh benteng naluri
teguh bakti memukau peradaban dunia masakini
di bawahnya saling memberi
sejati warganya memelihara keharmonian
di sinilah anak-anak sejarah dimamah enak
dijadikan hidangan pedoman

Sebuah hasrat yang menghijaukan manusia
warganya
membanteras gugat ganggu penjajah dunia baru
sebuah bangsa bongkak yang kehilangan citra cinta
sebuah peradaban yang telah sirna kemanusiaannya
menafikan kemakmuran dengan sejumlah sengketa
yang sengaja diterbithebohkan
dan ia membesar
cuba meluaskan jajah
mengerat-ngerat kebebasan yang terjamin gagah
menyiat-nyiat pejal kemerdekaan yang bermukim megah

Sebuah hasrat yang dibangunkan atas kewajipan
bahawa tanah air ini harus dimiliki
oleh bangsanya sendiri
yang lahir membesar dan mengerti maknanya
harus mengenali liku pernah dilalu
liku yang sungguhpun jauh dan berputar-putar
akhirnya berhenti bersama cinta sejati
berganding bersama sesama warga
kita sebangsa!

Apa mesti dimesrakan ketika ini
sewaktu-waktu mengimpikan sebuah hasrat di mana
anak-anak bernafas bebas
anak-anak berlari riang membesar dan membesar dewasa
membangun menari-narikan kebesarannya
melagu-lagukan kebesarannya
melagu-lagukan kebesarannya dan atas kemenangannya,
kejayaannya yang berhasil membangunkan bangsanya
memenangi hasrat bangsanya
membesarkan hasrat bangsannya
memakmurkan kejayaan bangsanya
sehingga tiada terasa sedikitpun lelah
sehingga tak terpandang bahawa liku yang dilalui itu
jauh, berputar dan panjang
sehingga tak pernah menyatakan ragu
bahawa di samping sekarang adalah genggaman kepuasan

Sebagai pewaris zaman moyangku
hasrat adalah jalan berliku yang ditempohi bersama-sama
kepada warga yang mengerti makna masadepannya
menambat tali gelombang pada dada
di sini cita-cita bersemi
ia membesar apabila dipupuk dan dimesrai
apabila seluruh warga memakmurkannya
di setiap dada mereka
dan melebar ke seluruh anggota
dan bergerak maju menguliti duri dunianya

Sebagai pewaris zaman moyangku
kami bersama seluruh kota kata
tiada sempadan menaruh kejatidirian
membaca setiap liku perjalanan yang tersejarah
pada buku waktu
tafsirnya mengadun cita-cita, sikap dan hasrat
ketika suatu waktu ia pecah ditebarkan
dari bendungan impian

Alangkah agungnya manusiaku yang bernaung di bawah
bendera tanah air makmur ini
dan ketika warna wajah dan gerak cergas semakin murni
tapi kecil lalu kian mengecil dan kian terpencil
jadilah moyang, wargatua yang tak diam menyimpul benang
hasrat yang menjadi warisan sejarah lampau
anak-anaklah generasi memanjangkan jangkauan itu
kembali memutar dan bermercu arah gerak hasrat bangsa
jitu cita-cita bahawa tanah air ini mutlaknya
adalah milik bangsaku sendiri

Sebuah tanah air yang mengalir di dadanya
darah: bukan putih, bukan merah tapi ceria




Kota Kinabalu,
1993.

Dewan Sastera.
1994.




CITRA WARGA TATKALA TERSIAT MAKNA
CINTANYA TERHADAP TANAHAIR YANG TERCINTA
( iltizam kepada IPS)

I.
Kami sentiasa tergerak sambil menjunjung bendera moyang.
Kami diikat di bawah bumbung harapan-harapan wawasan.
Kami dikumpul merapatkan segala citra seniman.

Bendera sebenarnya berkibar lewat matabatin yang yakin
bertebar, memutar angin peralihan, membina minda wira
mara menyemarak tinta.
Wawasan sesungguhnya rumah jatidiri mengubah waja berani
fajar bakti merelung bumi, tanahair kami, diikat seutuhnya
tanpa sedikitpun luntur ketika tunas sudah menjadi pohon rimbun.
Hanya seniman yang membina bangsanya, mentafsir
ketulusan warga, menterjemah kata mekar juang
siaga memartabat negara, satu, tiada dua!

II.
Kami, kumpulan wira bumi yang kecil tapi bernas dan ceria
Kami, kumpulan warga terampil yang menjunjung sejuta citra
Kami, kumpulan muda yang menjulang tinggi cita-cita
Kami tak undur walaupun satu, satu tak bertinta
dan satu, satu tak berdarah merah
walaupun satu, satu kehilangan kata-kata
dan satu, satu tak berpunca hala.


Di sini daerah kami yang murni, memelihara makna percaya
seiring berganding fikir dan bicara
meletakkan pedoman masa silam meraih makna masa depan.
Di tangan kami dunia harus menebus segala luka sengketa
segala luka dusta, segala luka haloba!

III.
Beginilah tatkala tersiat di dada pisau makna cinta
mencairkan beku darah yang kemudian terbakar, membuak bahangnya
ke seluruh rasa
menyeberang ke jambatan batin, membakarnya, kemudian
iertegun apabila siap tiang bendera yang akan dikibarkan
dan berarak segak, bangga siaga menuju rumah masa depan.



Kota Kinabalu.,
Januari 1994.

SEORANG TUA

telah acapkali mencorak hala hidupnya
menentang arah angin musim yang datang
tak bersudah memaksa orang lain
menimbang adil senario fikirnya
mahaguru yang kerap kecewa
di rundung malang yang panjang
mengeramkan dendamnya di dada kering dan tua
tak ada hujah sesuai dengan masa
waktunya yang telah berlalu
kini kian hambar dan lesu
orang tua ini mengutip kenangan
yang diagungkan sejarah
bibit budi tapi tak satupun mesra
dia disanjung hanya kerana kebetulan waktunya
dulu pada hatinya beribu duri
menikam pedih, memasung minda warga
tiada ungkap perlu diucap
tiada fikir perlu diukir
di sini kataku sehabis penentu!

seorang mahaguru yang dirundung duka
tak tahu menimbang tara gagasan waktunya
tak menentu ungkap dan rentak pencak silat fikirnya
adalah seorang tua yang ditusuk duri iri hati
yang terasa terkuda
adalah seorang lelaki yang terkurung
dunia prasangka dan gerhana suasana
adalah seorang wira yang terkesima
diacum cabaran tanpa pida
tapi di runcing keris zaman mengangkara

hujah apakah sesuai dilafaz kepada orang tua ini
yang telah mati mindanya
yang telah dipatungkan oleh sang setia pendusta
pengampu yang tak serik mengadu domba
memerangi kebenaran
hidupkan curiga serta sengsara warganya

(ii)
orang tua ini adalah sang mangsa perubahan masa
merasa tersisih dalam suasana gelora
kebangkitan baru wira-sira nusa
yang berwibawa cergas
petah bicara tangkas
berwawasan kemas
orang tua ini adalah getir
adalah musim yang akan datang menguliti peribadi
adalah resah yang menggempa alun pesisir sejarah.


Kota Kinabalu.
1993.



DI AMBANG BOHSIA

Adakah yang lain
daripada citra rahsia bohsia
dulu tersembunyi kini terselak rindanya
di sela-sela keriuhan degup hidup
yang menyimpai badai
petaka sosial
tuntutan abnormal

(ii)
Duka apakah yang terpaksa dimesrakan
diheboh, dipopularkan, digendang, dicanang
datang dari setiap penjuru ruang
di atas pentas moral menjadi gelanggang?

Genta bicara yang semakin terbiasa diucapkan
seperti tiada luka di dada bangsa
tiada silu menjahit malu
dihidupkan oleh rakus dan dayus manusia
hangus sifat kemanusiaannya,
api cinta polos bertakhta di mahligai rapuh
perawan yang tidak telus arus
yang menggelombangi candra minda
terpaksa menelan hempedu dalam hayat dukana

(iii)
Ya, sungguh serakah nafsu menggetar
menggoncang pancang susila bangsa
lambang lembut sekarang terlucut
dari tabir perawan diri yang keliru
yang hidup di tengah-tengah kemandulan akal
lingkaran api yang membelit
memukau peradaban

Sampahkah anak-anak remaja
atau salah sosialisasi yang memaksa berjaja?
Atau salah paradigma materialistik
yang membunga ketika kelopaknya jatuh dan layu
atau inikah hiduan budaya luar yang liar
yang singgah

dan bangsaku terminalnya walau sementara
namun reba duka mengisyarat
wajah bangsaku dicalit warna
kerana bangsa mengakarkan anak-anak itu
menjadi teras mampan menghidupkan citra masa depan

(iv)
Anak-anakku, hilangkan mimpi nyeri ini
materialistik harus berkubur di bahu azimat
bangsaku
kerakusan harus dibakar hangus
nafsu harus dibentengi iman manusiawi
menempatkan seluruh kerabat bangsa
bersama-sama menghayun bicara.


Kota Kinabalu.
1994.



KONTRADIKSI DUNIA BARA



Menunggu kau datang membawa apesan
seperti kata yang kudiamkan ketika geram
menakluk hiruk pikuk gema loceng dari gua
di takhta wira purbamu,
juga tak pernah kupandang calar sendu terungkap
lewat dentum gulana mengerat lidah
kau dibungkam oleh bangkit anak-anak
mengalir darah wira yang mengimpikan dunia
mereka sebuah dunia bara

Di tepi jendela aku masih menunggu
sapa yang kerap kudengar dari gerutu
terlepas dari mulut para juara
ada yang kecundang
ada yang pulang
ada yang kembali datang menerjang
memintal demokrasi hanya sebagai tali tradisi
kata-kata mereka hilang di tengah-tengah riak gelora
rimba fitrah hilang dari petanya.

Aku masih menunggu seperti ibu menunggu puteranya
yang kembara panjang di belantara bara.



Kota Kinabalu,
1994.
BEBERAPA FIKIR YANG KUTEMUI
(selepas membaca puisi)



Seperti beberapa hari yang lalu
aku didatangi beberapa fikir

Bicara berlipat tabda tanpa titik atau koma
bicara klasik tanpa aroma. citra lama
bicara sahabatku dari linag kata-katanya
tak sudah-sudah menawar harga
maruahnya

Seperti beberapa hari yang lalu
aku dihampiri beberapa fikir

Kicau, adakah janji itu kelambumu
menutup seribu rahsia alamat canda
mimpi saling berbisik
menyampai makna kecewa
atau putus usaha

Kicau, adakah harap itu perdumu
menyimpan selamanya derita papa, mengemis
di tepi jalan, hamis
di simpang-simpang kantor dan bank
di penjuru hampir-hampir dapat kau kembali
kepada kekasih

Seperti beberapa hari yang lalu
aku didekati beberapa fikir
beberapa fakir
memungut untungan
menjejak para musafir.

Kota Kinabalu,
1993.
KHURAFAT JAM DUA BELAS


Jam dua belas di suatu ruang tebing kota
mencarik peradaban Islam
sumbang di hujung tahun
usang akal
bayang-bayang syaitan menawan seluruh ruang
adakah kau berseida?
tahtamu di mahligai kalbu yang keliru
oleh peradaban sumbang
membasuh apa?
kalbumu gelap
tubuhmu pengap
akalmu haru biru
detik ini!

Pergilah ruang usang membuang citra usang
mari ruang baru memimpinmu meniti keliru
walaupun tak pernah erti
lelaki dan wanita tidak bergalang
iakah jalang?
di tengah-tengah arus hilai
tenar, gempita dan keriuhan ombak pantai
engkau cari tempat berpulang
mengubur pemusnah waktu dan ruang
hari-bari baru kau perjuangkan dengan
sehebat takwa

Inilah peradabanmu
tafakurkanlah tentang kemanusiaanmu
kamu, ya kamu!

Kota Kinabalu,
Januari, 1991.

<Kembali Ke Atas>